REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan webinar bertema RUU HIP: Pelemahan Ideologi Pancasila?. Kegiatan ini menghadirkan tiga pemateri. Mereka adalah Cendekiawan Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti, dan dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UMM, Nurul Zuriah.
Di dalam paparannya, ketiga pemateri sepakat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sejatinya tak diperlukan. Tidak ada unsur kedaruratan dan sangat lemah metodologis-filosofisnya. Oleh sebab itu, rancangan aturan tersebut sebaiknya tak perlu diteruskan lagi pembahasannya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan, organisasinya secara khusus telah membentuk tim untuk mengkaji RUU HIP. Di pernyataan resminya, PP Muhammadiyah telah menegaskan menolak RUU ini. Pasalnya, kedudukan Pancasila sudah sangat kuat dan tidak perlu lagi diutak-atik.
Dibandingkan membahas RUU HIP, Indonesia sebaiknya fokus menghadapi pandemi. "Dan oleh karena itu, Muhammadiyah meminta proses pengesahan RUU itu dihentikan,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.
Hal serupa juga diungkapkan Cendekiawan Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif. Masyarakat harus tahu bahwa Pancasila sebenarnya tidak boleh dipolitisasi. Sebab, Pancasila pada dasarnya bersifat fundamental dalam keberlangsungan kehidupan suatu bangsa.
Dia menilai, pasal-pasal yang muncul dalam RUU HIP mengindikasikan adanya ketidakseriusan dalam penyusunannya. Orang-orang yang menyusun dan mengusulkan terkesan tidak serius. Ada banyak miskonsepsi yang ditemukan seperti hal elementer tidak terkoneksi dengan baik dan antarpasal tak sejalan.
Pada akhir paparannya, pria yang pernah aktif di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) inipun menegaskan, RUU HIP justru bisa menimbulkan masalah baru. Ketidakjernihan RUU ini dapat melahirkan isu decline dan kontraproduktif. Hal ini terutama terhadap usaha-usaha sosialisasi Pancasila.
Sementara itu, Dosen UMM Nurul Zuriah berpendapat pasal-pasal RUU HIP terlihat melenceng dari nilai-nilai Pancasila. Beberapa di antaranya seperti Pasal 3 ayat 1, Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 5. Kemudian Pasal 6 ayat 1, Pasal 7, dan Pasal 8 huruf f.
Nurul Zuriah menilai, RUU HIP bermaksud menggeser ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dengan paham materialisme. Rancangan aturan tersebut juga terlihat ingin mendukung Pancasila setara dengan negara. Kemudian akan menjadi sumber konflik karena pasal-pasalnya tidak koheren dan memberi peluang terjadinya intervensi kekuasaan terhadap Pancasila.
Di akhir acara, Dekan FKIP UMM, Poncojari Wahyono mengimbau, masyarakat tetap menyikapi isu dan RUU HIP dengan bijaksana. Protes-protes dan penolakan harus dilakukan secara santun, beretika, dan melalui jalur yang semestinya.
Ponco tak menampik, penolakan RUU HIP yang dilakukan oleh puluhan organisasi kemasyarakatan menggunakan argumentasi sangat rasional. Namun penolakan ini harus dilakukan dengan penuh kesantunan dan bijak. "Jadi, bukan penggalangan suara atau kegiatan-kegiatan yang tidak beretika,” katanya dalam pesan resmi yang diterima Republika, Jumat (3/7).