REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog klinis Astrid Wen menjelaskan, perundungan merupakan kekerasan fisik atau verbal yang membuat orang merasa tidak aman. Perundungan terjadi ketika suatu perbuatan telah berdampak pada psikologis korban.
"Misalnya karena kita kena pukul di sebuah sudut gang lalu kita menjadi tidak berani melewati gang itu. Keamanan kita sudah terancam. Atau, kita melihat pelaku itu sudah was-was atau deg-degan," jelas Astrid dalam Online Talkshow: Lawan Bullying dengan Komedi yang digagas Allianz Indonesia dengan EDU Foundation, Jumat (10/7).
Perundungan juga biasanya terjadi tak hanya sesekali. Ketika terjadi kekerasan, lalu berhenti dan kembali baikan, namun terjadi lagi berulang atau secara terus menerus maka hal itu pun telah termasuk merupakan perundungan.
Selain itu, perundungan juga kerap terjadi dari pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah atau minoritas. "Bisa saja kepada yang lebih muda, lebih kecil, atau yang kaum minoritas, yang kelihatan beda sendiri, berkondisi kurang menguntungkan, dan secara grup memiliki posisi yang paling lemah," kata Astrid.
Kekerasan fisik atau kekerasa verbal ini bisa berkembang menjadi kekerasa emosional. Cirinya adalah ketika melihat pelaku, korban sudah merasa tertindas.
"Inti dari perundungan adalah menyakiti, mengancam keamanan, terjadi secara terus menerus, dan ditujukan kepada pihak yang lebih lemah," ungkap Astrid.
Perundungan juga bisa terjadi secara siber. Hal ini bahkan bisa menjadi lebih parah karena fisik perundung tidak terlihat.
Artinya, orang akan lebih berani untuk merundung karena tak terlihat secara fisik. Mereka juga bisa mengaku anonim dengan menggunakan akun-akun palsu.
"Semua orang asing itu bisa menyerang kita, makanya jangan menempatkan harga diri berdasarkan jumlah likes dan jumlah komen. Sebab, kita nggak pernah tahu siapa yang sebenarnya yang benar-benar merundung kita, menyukai kita, memberi komen kepada kita," jelas Astrid.