REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zakat adalah salah satu pilar dalam rukun islam sebagai bentuk tindakan sosial yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim. Kewajiban tersebut disebutkan dalam Alquran berulang kali bersanding dengan kewajiban sholat (Muhammad, Saad, 2016).
Zakat yang dihimpun, dikelola, didistribusikan serta didayagunakan dengan baik memiliki potensi yang sangat besar untuk membantu menyelesaikan permasalahan negara, yaitu masalah kemiskinan, kelaparan, pendidikan, sampai Kesehatan. Dari segala jenis aktivitas program yang dilakukan oleh lembaga pengelola zakat untuk mencapai tujuan dari zakat yaitu untuk mensejahterakan dan memberikan keadilan bagi masyarakat khususnya para mustahik/orang-orang yang berhak atas zakat.
Di sisi lain, PBB telah menginisiasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau biasa disebut Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan agenda pembangunan global berkelanjutan yang telah mendapatkan sebuah kesepakatan dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). SDGs sebagai inisiatif kelanjutan dari platform sebelumnya yaitu Millenium Development Goals (MDGs).
SDGs mengusung tema "Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan", yang berisi 17 Tujuan dan 169 Target merupakan rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga 2030), guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk mencapai Tujuan dan Target SDGs.
“Kontribusi zakat untuk mendukung SDGs juga didukung dengan adanya UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang menyebutkan bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, khusus di dalam Pasal 3 di UU yang sama menjelaskan bahwa pengelolaan zakat bertujuan; 1) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, 2) Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan,” tutur Ika Akmala, Divisi Pengembangan Zakat Dompet Dhuafa, dalam sairan persnya, Ahad (11/7).
Umumnya irisan antara SDGs dan zakat bertemu dalam sebuah objektif untuk mengurangi kemiskinan. Menurut Baznas, peranan zakat sebagai instrument dengan tujuan untuk mereduksi konsentrasi kekayaan, menyalurkan dana dari yang berlebih kepada yang membutuhkan, sehingga cita-cita pembangunan yang lebih merata dan adil akan tercapai. Pengelolaan zakat yang harus dipastikan sesuai dengan nilai-nilai fundamental yang dimiliki ekonomi islam, maqashid syariah telah sepantasnya digunakan sebagai basis perimbangannya.
Ika mengatakan, Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam. Prinsip kebebasan yang diberikan Islam bagi pemilik hak untuk mempergunakan haknya bukanlah bebas tanpa batas, namun dibatasi oleh pertanggungjawaban dan kepatuhan pada syariat.
Sumber Daya Alam yang ada saat ini bukan hanya untuk generasi yang hidup di masa sekarang, tetapi juga untuk diteruskan dan diwariskan untuk generasi berikutnya dan pembangunannya harus berkelanjutan. Yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Manusia sebagai pemegang hak dalam menggunakan haknya harus sejalan dengan maqashid al-syari’ah, yaitu penjagaan agama (hifzh al-din), memelihara jiwa (hifzh al-nafs), memelihara akal (hifzh al-‘aql), memelihara keturunan (hifzh al-nasl), dan memelihara harta benda (hifzh al-mal),” tambah Ika Akmala.
Pada Alquran dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya.
Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai Sumber Daya Alam, baik yang ada di laut, maupun di daratan harus dilakukan secara proporsional, profesional, dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam al-Qur’an: “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya ....” (QS. Al-A’raf [7]: 56).
Alam dan tumbuhan sebenarnya mampu melayani kebutuhan umat manusia, tetapi ia tak mampu melayani tinggi nya sifat kerakusan manusia. Islam mengajarkan hidup kebersahajaan. Manusia sebenarnya tak perlu rakus dan menjadi konsumerisme dalam menjalani hidup. Dengan kesadaran ini, maka alam dan seluruh isinya akan diposisikan sebagai subjek yang kedudukannya setara dengan kedudukan manusia, karena kerusakan alam pada akhirnya juga akan berakibat buruk bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia.
Menyadari hal tersebut, keberadaan program yang fokus terhadap pengelolaan lingkungan yang di kelola oleh Lembaga zakat dirasa penting. Karena pengelolaan lingkungan dan pengentasan kemiskinan merupakan hal yang saling berkaitan satu sama lain. Menurut Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam pengelolaan lingkungan (Fiqh al-Bi’ah) yaitu pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sisi sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.
Lembaga zakat yang keberadaannya sebagai pengelola dana zakat yang profesional ditantang untuk dapat melahirkan model strategi pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan kaum dhuafa melalui perbaikan kualitas pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan komunitas (community development), dalam arti program-program yang diselenggarakan diharapkan tidak hanya membawa manfaat langsung terhadap para mustahik.
"Yang menjadi sasaran utama program untuk dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas lapangan, melainkan juga diharapkan dapat menjadi stimulus yang membawa dampak yang lebih luas terhadap ekosistem komunitas dimana program-program tersebut dijalankan,” lanjut Ika Akmala.
Program-program yang akan diinisiasi tersebut harus bersifat praktis dan jangka panjang. Untuk itu, program-program tersebut diharapkan dapat disusun berdasarkan kapasitas dan sumberdaya yang tersedia dan memang benar-benar menjawab kerentanan atau gap serta potensi-potensi ancaman-ancaman yang ada di tingkat lokal. Beberapa hal yang perlu di lakukan Lembaga zakat dalam praktik sebagai “mercusuar” pembangunan keberlanjutan adalah :
• Membangun dan mengembangkan Kawasan konservasi yang mampu menjadi basis produksi sekaligus piranti pendukung pemberdayaan dhuafa
• Mengembangkan inisiatif-inisiatif dan praktik-praktik baik dalam pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan dan bertanggungjawab
• Mengembangkan inovasi-inovasi sosial dalam hal pengelolaan limbah/sampah dan energi terbarukan dengan pendekatan community enterprise dan aplikasi teknologi sederhana.
• Memperkuat kolaborasi dan kelembagaan di seluruh penggiat lingkungan di dunia.
“Sehingga tujuan utama dari segi syari’at khususnya dalam penyaluran dana zakat dapat terealisasi yakni untuk mendorong kesejahteraan manusia yang terletak pada pemeliharaan agama, hidup, akal, keturunan, dan kekayaanya,” tutup Ika Akmala.