REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Redaksi Preanger Bode yakin Tjipto Mangoenkoesoemo akan pergi ke Belanda daripada ke Banda. “Bahkan sangat yakin Tjipto akan pergi ke Eropa dan lebih suka Barat yang dibenci daripada Banda yang indah,’’ tulis Preanger Bode yang dikutip Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 21 Agustus 1913.
Keputusan pemerintah yang resmi dikeluarkan pada 18 Agustus 1913 menyebut Tjipto dibuang ke Banda, Soewardi dibuang ke Bangka, tetapi kemudian Tjipto dan Soewardi Soerjaningrat dan Douwes Dekker akhirnya dibuang ke Belanda. Mereka berangkat pada 6 September 1913.
Bunyi keputusannya seperti yang dimuat De Expres, 29 Agustus 1913, antara lain: Tjipto Mangoenkoesoemo, di Bandung, menunjuk Pulau Banda (Amboina) sebagai tempat tinggal, RM Soewardi Soerjaningrat, di Bandung, menunjuk Pulau Bangka sebagai tempat tinggal, dengan ketentuan bahwa sejak hari keputusan itu diberitahukan kepada mereka, mereka diberi waktu 30 hari untuk menyelesaikan urusan mereka dan mereka diberi kebebasan memilih untuk meninggalkan Hindia Belanda, dalam periode itu, jika mereka melakukannya, maka pelaksanan tindakan yang disebutkan dalam paragraf pertama ditangguhkan sampai mereka kembali ke wilayah ini.
Baca Juga: Soewardi Soerjaningrat: Seandainya Aku Bangsa Belanda
Sebelum menjalani hukuman pembuangan, Tjipto dikunjungi seorang sahabat. Sahabat itu menyampaikan pesanan dari sahabat lain yang berjanji akan menyediakan uang bulanan 50 gulden dari asosiasi di Belanda jika ia bersedia bersekolah di Belanda. Tjipto menyambutnya dengan suka cita. Itulah sebabnya ia memilih pergi ke Belanda yang ia benci daripada ke Banda yang indah.
Bataviaasch Handelsblad edisi 29 Desember 1913 mengonfirmasi bahwa Tjipto akan belajar di Universitas Amsterdam selama tinggal di Belanda.
Ada kejadian lucu yang menimpa Tjipto ketika Tjipto mengunjungi seorang sahabat Belanda-nya di Bandung. Seorang perempuan yang menerimanya tak mengenali Tjipto, segera Tjipto memperkenalkan diri dengan berteriak.
Baca Juga: Lenyapnya Pesona Gedung Bangsawan Eropa Berpesta di Batavia
Perempuan itu segera masuk ke rumah dengan menutup pintu, dan sekian lama tak ada yang keluar. Rupanya sahabatnya itu tidak ada di rumah. ‘’Perempuan itu pasti berpikir bahwa Tjipto datang untuk mengamuk,’’ tulis De Nieuwe Vorstenlanden edisi 12 September 1913.
Sebelum dibuang ke Belanda, Soewardi Soerjaningrat juga mendapatkan pengalaman yang juga menyenangkan. Saat itu ia berkunjung ke kantornya, De Expres. Ada seorang pria yang menyambutnya dengan sopan dan menanyakan kepastian Soewardi pergi ke Belanda.
Ketika mendapatkan jawaban yang memastikan, pria itu menyatakan kekagumannya atas keberanian Soewardi karena ia menilai Soewardi berbadan ringkih, tak cocok dengan cuaca Belanda. "Iklim Belanda tidak baik untuk Anda. Bolehkah saya menawarkan mantel ini sebagai pengingat?" kata pria itu lalu menyerahkan mantel panjang yang tampak baru, seperti dikutip De Nieuwe Vorstenlanden.
Baca Juga: Bung Hatta yang tak Gila Harta
Setelah mengucapkan terima kasih, Soewardi menanyakan nama si pria yang tak ia kenal itu. Namun si pria mengelak dan segera pergi meninggalkan Soewardi. (Belakangan diketahui, yang tak cocok dengan iklim Belanda ternyata justru Tjipto. Tjipto pulang duluan dengan alasan sakit asma. Ia meninggalkan Belanda pada Agustus 1914).
Dibuangnya Tjipto, Soewardi, dan Douwes Dekker ke Belanda, membuat De Expres tutup diri di akhir Juli 1914. Douwes Dekker sebagai pemimpin redaksi digantikan oleh HC Kakebeeke per 1 September 1913. Rencana De Expres menerbitkan edisi berbahasa Melayu, Expres Melajoe, juga ditunda karenanya.
Penerbit De Expres tampak gamang akan kelangsungan De Expres, seperti tertuang dalam suratnya yang dimuat di De Expres edisi 30 Agustus 1913 setelah kehilangan Dekker, Tjipto, dan Soewardi. “Untuk menggantikan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, kami akan menemukan orang lain yang menjamin semangat kerja kami seperti yang dibayangkan oleh dua orang yang kami sebutkan itu,’’ tulis Direksi Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij, penerbit De Expres.
Baca Juga: Nyamar Jadi Pedagang, Amir Sjarifoeddin Ditangkap di Klambu
Penerbit juga menegaskan pendirian De Expres --seolah-olah menutupi kegamangan bakal ditinggalkan pembaca-- dengan mengatakan tak akan ada perubahan karakter. Pun akan terus menjaga kepercayaan pembaca. Namun, usaha keras mereka tak membuahkan hasil. Pada 22 Juli 1914, De Expres menyatakan: …kita harus mengumumkan bahwa sekarang sudah pasti bahwa pada akhir bulan kita akan berhenti menerbitkan De Expres.
Iklan terus berkurang dan pembatalan berlangganan terus bertambah, kendati nama Douwes Dekker dan Tjipto tetap dicantumkan sebagai redaktur di Belanda. “Ketika saatnya tiba, kami berharap bisa mengucapkan selamat tinggal kepada para pembaca setia kami, sekaligus sebagai jawaban atas banyak surat yang menyebutkan penyesalan dan kesedihan yang disebabkan oleh berita pemberhentian De Expres.”
Harapan juga ditumpukan kepada pemerintah kolonial terkait kebijakan terhadap pers yang diharap di masa-masa mendatang ada terus perubahan. De Expres dikenal selalu menyuarakan revolusi untuk Hindia Belanda. “…bahwa pekerjaan kami di bidang penerangan kami hanya aktif demi kepentingan negara dan rakyat.”