REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Jaramaya, Kamran Dikarma, Desy Suciati Saputri, Sapto Andika, Fauziah Mursid
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan pemimpin dunia akan bahaya virus corona jenis baru atau Covid-19 yang kian memburuk. Pandemi virus corona bisa menjadi lebih buruk lagi jika pemerintah di setiap negara gagal mengambil tindakan yang lebih tegas.
Menurut Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, terlalu banyak negara yang menuju ke arah yang salah dalam menangani pandemi. "Kasus meningkat di mana langkah-langkah (pedoman ksehatan) terbukti tidak diadopsi atau diikuti," ujar Ghebreyesus, dilansir BBC, Selasa (14/7).
Dalam briefing di Jenewa, Ghebreyesus mengatakan terlalu banyak pesan yang beragam dari para pemimpin sehingga merusak kepercayaan publik dalam upaya untuk mengendalikan pandemi. Menurutnya, virus corona jenis baru atau Covid-19 masih tetap menjadi musuh nomor satu. Namun, saat ini banyak orang maupun negara yang mengabaikannya.
Selain itu, protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh WHO untuk mencegah penyebaran Covid-19 mulai banyak dilanggar. Misalnya, mencuci tangan, mengenakan masker, dan menjaga jarak. Ghebreyesus memperingatkan, jika situasi ini terus berlanjut maka kehidupan tidak akan kembali lagi menjadi normal di masa mendatang.
"Jika dasar-dasarnya tidak diikuti, pandemi ini akan terus berlangsung dan menjadi lebih buruk dan semakin buruk lagi," ujar Ghebreyesus.
Direktur Kedaruratan WHO, Mike Ryan, mengatakan pelonggaran lockdown yang terlalu cepat di sejumlah negara membuat kasus infeksi virus corona melonjak tajam. Dia mencontohkan, pelonggaran pembatasan di Amerika Serikat (AS) telah menyebabkan lonjakan kasus di sejumlah negara bagian.
Menurut penghitungan yang dilakukan Reuters, kasus Covid-19 global bertambah sebanyak satu juta hanya dalam lima hari. Hal itu membuat kasus virus korona global menembus angka 13 juta. Sementara jumlah korban meninggal melampaui 571 ribu jiwa.
AS, India, dan Brasil merupakan negara-negara yang melaporkan kasus harian dengan jumlah tertinggi. Pada Senin lalu, misalnya, AS mencatat lebih dari 60 ribu kasus baru Covid-19. Saat ini Washington memiliki lebih dari tiga juta kasus korona dengan jumlah korban meninggal melebihi 137 ribu jiwa.
Benua Amerika saat ini menjadi pusat pandemi. AS merupakan negara yang terkena dampak paling buruk dan mencatat lebih dari 3,3 juta kasus dengan 135.000 kematian. AS menjadi negara teratas yang memiliki jumlah kasus infeksi Covid-19 paling tinggi. Sementara, Amerika Latin telah mengonfirmasi lebih dari 145.000 kematian terkait virus korona.
India melaporkan 28.701 kasus baru pada Senin. Negara tersebut telah memiliki 878 ribu kasus Covid-19 dengan 23.174 kematian. Sementara Brasil, di hari yang sama, mencatat lebih dari 24 ribu kasus baru. Brasil menduduki posisi kedua sebagai negara dengan kasus corona tertinggi di dunia setelah AS, yakni melebihi 1,8 juta.
Ryan mengatakan penutupan wilayah dan pembatasan sosial akan memiliki konsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi pembatasan dan penguncian atau lockdown di tempat-tempat tertentu diperlukan untuk mengurangi penyebaran virus. Dia mendesak pemerintah untuk menerapkan strategi yang jelas dan kuat.
"Warga harus memahami, dan itu harus mudah bagi mereka untuk mematuhinya," kata Ryan.
Dikutip dari AP, negara-negara yang menghadapi kasus dalam jumlah besar seperti AS, Brazil, dan India, sebelumnya diketahui pernah menolak atau mengabaikan rekomendasi ilmuwan, penasihat pemerintah, dan sekutunya politiknya untuk mengambil langkah lebih tegas.
Misalnya, Presiden Brazil Jair Bolsonaro yang berulangkali mempertanyakan efektivitas lockdown dan mengabaikan rekomendasi penggunaan masker. Atau AS yang Presidennya menekan agar sekolah kembali dibuka di musim gugur. Ia bahkan mengancam akan memotong pendanaan bagi sekolah yang tidak mematuhi aturan.
Fauci Ryan mengatakan pengambilan keputusan membutuhkan cara pandang luas. "Kita tidak bisa membiarkan sekolah diubah menjadi lapangan bola politik. Ini tidak adil bagi anak-anak," kata Ryan. "Kita harus mengambil keputusan yang didasarkan atas kepentingan terbaik bagi anak-anak, demi pendidikannya atau kepentingan kesehatan mereka."
Puncak Covid-19
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan puncak pandemi Covid-19 nanti akan terjadi pada Agustus atau September. Kendati demikian, jika pemerintah maupun masyarakat tak berupaya maksimal untuk menangani dan mencegah penyebaran corona, maka diperkirakan puncak corona akan kembali bergeser.
“Kalau melihat angka-angka memang nanti perkiraan puncaknya ada di Agustus atau September, perkiraan terakhir. Tapi kalau kita tidak melakukan sesuatu, ya bisa angkanya berbeda,” kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7).
Karena itu, Jokowi menginstruksikan seluruh jajaran menterinya untuk bekerja keras menangani dan mencegah penyebaran Covid lebih luas lagi. Sehingga pandemi tak berlangsung lebih lama.
“Oleh sebab itu, saya minta pada para menteri untuk bekerja keras. Tapi kalau mintanya, dengan agak berbeda, yaitu memotivasi para menteri agar bekerja lebih keras lagi. Bukan marah, memotivasi. Agar lebih keras lagi kerjanya,” jelas Jokowi.
Kerja keras dibutuhkan sebab vaksin Covid-19 masih dalam upaya. Presiden menargetkan produksi vaksin Covid-19 bisa dilakukan dalam rentang Januari hingga April 2021.
Indonesia memiliki beberapa perusahaan farmasi, seperti PT Bio Farma (persero) dan PT Kalbe Farma Tbk yang bekerja sama dengan perusahaan asing dalam riset produksi vaksin Covid-19. Perusahaan asing yang digandeng antara lain, Sinovac Biotech Ltd dari China dan Genexine asal Korea Selatan.
"Perlu 6 bulan untuk uji terakhir, jadi kira-kira diproduksi Januari sampai April (2021)," jelas Jokowi.
Bila vaksin berhasil diproduksi nanti, maka penggunaannya pun tak langsung sembarangan. Tenaga kesehatan dan kelompok rentan, terutama yang berada di zona merah, diprioritaskan untuk mendapat vaksin pertama kali.
Jokowi memprediksi, kebutuhan vaksin untuk Indonesia sebanyak 347 juta unit. Angka dengan asumsi, setiap satu orang bisa mendapatkan vaksin lebih dari satu kali. "Tahun depan kita perkirakan memproduksi 170 juta vaksin," kata Jokowi.
Indonesia memang sengaja menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan farmasi sekaligus dalam riset vaksin. Alasannya, menurut Jokowi, agar Indonesia bisa secepatnya memproduksi vaksi sendiri. Indonesia sebenarnya sudah punya pengalaman banyak dalam produksi vaksin. Misalnya, vaksin polio yang diproduksi oleh Bio Farma.
"Kuncinya satu, vaksin. Dan ngerem agar Covid tidak naik secara drastis," kata Jokowi.
Kemarin terdapat penambahan kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 1.282. Total keseluruhan positif Covid-19 di Indonesia berjumlah 76.981 orang.
Jumlah itu didapat dari pemeriksaan pada Ahad (12/7) yang jumlahnya sekitar 13.100 spesimen, sehingga total spesimen yang telah diperiksa yakni 1.074.467 spesimen. Dari penambahan tersebut, DKI Jakarta kembali menjadi provinsi dengan penambahan terbanyak yakni 281 kasus baru, disusul Jawa Timur dengan 219 kasus, Sulawesi Selatan 124 kasus, Jawa Tengah 100 kasus, Papua 98 kasus, dan Jawa Barat 83 kasus.
Selain penambahan kasus, Pemerintah juga mencatat jumlah pasien sembuh meningkat sebanyak 1.051 orang sehingga total pasien yang telah sembuh dari Covid-19 sebanyak 36.689. Sedangkan pasien yang meninggal karena Covid-9 bertambah 50 menjadikan total 3.656 orang.