REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*
Resesi. Frasa ini kian santer terdengar belakangan ini. Terdengar agak menakutkan, tapi membingungkan. Katanya, sebentar lagi negara ini bakal jatuh ke dalam resesi. Negara lain sudah lebih dulu bersiap menuju resesi.
Mengutip The Balance, resesi adalah penurunan yang signifikan dalam aktivitas ekonomi suatu negara selama beberapa bulan berturut-turut. Indikatornya, terjadi penurunan produk domestik bruto (PDB), biasanya dua kuartal berturut-turut. Kemudian, pendapatan ril merosot, penjualan jatuh, dan terpuruknya industri manufaktur. Saat terjadi resesi, itu berarti pertumbuhan ekonomi bisa nol persen atau bahkan minus.
Pertumbuhan ekonomi memang selama ini menjadi indikator utama dalam mengukur perkembangan sebuah negara. Semakin baik PDB negara itu, semakin baik pula ekonominya.
Singapura telah lebih dulu mengumumkan resesi setelah negara tersebut mengumumkan kontraksi ekonomi pada kuartal II. Pertumbuhannya minus 41,2 persen. Singapura jadi negara pertama di Asia yang melaporkan data pertumbuhan ekonomi dengan angka yang mengejutkan.
Dana Moneter Internasional (IMF) memang sudah mewanti-wanti soal resesi. Ekonomi akan berantakan karena pandemi menyebabkan bisnis tersendat bahkan terhenti. Pandemi juga menekan konsumsi dan menghentikan aktivitas perdagangan. Akibatnya, 'nyawa' sebuah negara, terancam.
Sejumlah instansi global terus merevisi pertumbuhan ekonomi global tahun ini. IMF sendiri memproyeksikan ekonomi global terkontraksi 4,9 persen. Pada Juni lalu, Bank Dunia juga merevisi pertumbuhan ekonomi global jadi minus 5,2 persen. Asian Development Bank (SDB) turut memproyeksikan kejatuhan ekonomi global menjadi minus 6,4 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Seperti negara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini terus mengalami penurunan. Ekonomi kuartal I 2020 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,97 persen. Sementara, ekonomi kuartal II diproyeksikan mengalami kontraksi menjadi minus 4,3 persen. Jika benar ini terjadi, maka secara teknik, Indonesia akan masuk ke jurang resesi.
Tidak ada negara yang ingin pertumbuhannya terkontraksi. Namun, kondisi pandemi menyebabkan semua negara harus mengurangi aktivitas perdagangan antarnegara. Pembatasan aktivitas juga menyebabkan daya beli masyarakat menurun.
Lalu apa yang harus disiapkan untuk mengantisipasinya? Pemerintah sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi dampak perlambatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 ini mau tak mau akan bergantung pada bagaimana pemerintah menangani Covid-19.
Pemerintah memprioritaskan belanja negara untuk tiga sektor, yakni kesehatan untuk penanganan Covid-19, jaring pengaman sosial, dan dukungan terhadap pengusaha termasuk UMKM. Pemerintah juga telah memperlebar defisit APBN menjadi 6,34 persen. Diharapkan upaya ini bisa memperkecil dampak benturan resesi yang sudah berada di depan mata.
Bagi orang pribadi, menyiapkan dana darurat adalah hal terbaik. Dana darurat jadi fardhu ain untuk mengantisipasi segala kemungkinan, terutama kemungkinan terburuk. Mengurangi belanja yang tidak perlu sudah harus menjadi kewajiban. Beli apa yang dibutuhkan saja. Jangan belanja saat perut kosong supaya tidak kalap.
Tak hanya kesehatan dompet, kita juga perlu menjaga kesehatan fisik dalam menghadapi resesi ini. Apa saja bisa terjadi, apalagi resesi ini disebabkan oleh pandemi. Tentu kita tidak mau menambah masalah di tengah pandemi, kan?
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id