REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mantan diktator Sudan, Omar al-Bashir, kembali ke meja pengadilan. Kali ini ia menghadapi dakwaan merencanakan kudeta tahun 1989 yang menggulingkan pemerintah terpilih. Aksi yang didukung kelompok Islam itu membawa Bashir ke tampuk kekuasaan.
Saat mantan presiden itu dibawa dari penjara ke gedung pengadilan, puluhan pendukung Bashir berkumpul di depan gedung yang terletak di ibu kota Khartoum itu. Pada Selasa (21/7) kantor berita Sudan SUNA melaporkan Bashir menjalani persidangan mengenai kudeta yang menggulingkan pemerintah Perdana Menteri al-Sadiq al-Mahdi.
Bashir disidang bersama dua lusin pejabat tinggi pemerintahannya, termasuk mantan wakil presiden Ali Ossman Taha dan mantan menteri pertahanan Abdel-Rahim Muhammad Hussein.
Pada April 2019 lalu karena tekanan dari pengunjuk rasa, militer menggulingkan Bashir. Berbulan-bulan setelah Bashir diturunkan para jenderal tentara dan aktivis pro-demokrasi yang berada di balik gerakan unjuk rasa membentuk pemerintahan transisi.
Sejak digulingkan, Bashir ditahan di penjara Khartoum. Ia menghadapi sejumlah persidangan yang berbeda terkait pemerintahannya dan pemberontakan yang membantunya turun. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) juga mendakwanya atas kejahatan perang dan genosida selama konflik Darfur pada awal 2000-an.
Februari lalu pihak berwenang pemerintah transisi mengumumkan mereka setuju untuk menyerahkan Bashir ke ICC. Ini sebagai bagian dari kesepakatan dengan pemberontak untuk memberikan apa yang mereka inginkan terkait konflik Darfur.
Namun tidak ada tindakan lebih lanjut setelah pengumuman tersebut. Di salah satu sidangnya di Khartoum, Bashir dinyatakan bersalah atas korupsi dan pencucian uang. Ia divonis penjara dua tahun.
Selama tiga dekade berkuasa, Bashir menjalankan pemerintahan tangan besi. Ia menekan oposisi-oposisinya dengan brutal. Ia memonopoli perekonomian melalui pengusaha-pengusaha yang menjadi sekutunya.