Jumat 31 Jul 2020 19:11 WIB

Kasus Fetish Jarik, Ini Saran Psikolog

Psikolog menyarankan orang tidak memberikan label tanpa adanya pemeriksaan klinis.

Media sosial (ilustrasi). Hal yang dapat menjadi pelajaran dari asus fetish jarik yang beredar di media sosial, di antaranya pemberian label atau labelling.
Foto: www.freepik.com
Media sosial (ilustrasi). Hal yang dapat menjadi pelajaran dari asus fetish jarik yang beredar di media sosial, di antaranya pemberian label atau labelling.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berkaca dari kasus fetish jarik yang beredar di media sosial, ada hal-hal yang bisa menjadi pelajaran. Salah satunya pemberian label atau labelling

Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika, menyarankan orang-orang tidak memberikan label pada seseorang tanpa adanya pemeriksaan klinis dari pakar yang kompeten. "Jangan memberikan pelabelan ketika kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi, perlu pemeriksaan oleh orang-orang yang kompeten dengan persoalan tersebut sehingga dapat diberikan treatment yang tepat untuk orang tersebut," ujar Nirmala, Jumat (31/7).

Baca Juga

Menurut dia, memberi label pada seseorang tanpa mengetahui kondisinya sama dengan merundung orang yang bersangkutan. Ini bisa berdampak pada sosok yang diberi label, termasuk membuat dia berperilaku semakin buruk.

"Itu jelas memberikan dampak kepada orang yang bersangkutan dan kadang seringkali malah membuat dia 'makin buruk' karena merasa marah dan tidak dipahami," kata dia.

Dari sudut pandang korban, Nirmala menilai pentingnya para korban mendapatkan penanganan dari orang-orang yang kompeten di bidangnya. Sebab, ini bukan pengalaman yang mudah juga bagi sebagian orang.

"Jangan berikan stigma juga kepada mereka. Karena kita cenderung suka memberikan stigma pada orang lain misalnya pada korban pemerkosaan bahkan yang pada pasien COVID-19, yang kalau dipikir-pikir siapa sih yang mau mengalami itu semua," tutur Nirmala.

Terakhir, Nirmala menekankan, terlepas dari mahasiswa berinisial G melakukan fetish atau bukan seharusnya kasus ini bisa membantu masyarakat melihat kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja. Ia mengatakan kekerasan seksual juga memiliki bentuk-bentuk lainnya seperti eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kehamilan dan pemaksaan kontrasepsi.

Hanya, menurut dia, jenis kekerasan seksual belum dibahas di undang-undang negara. "Kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja, ada bentuk-bentuk lain yang belum dibahas di UU negara kita yang sudah ada, itu sebabnya RUU PKS penting sekali untuk dikaji dan disahkan," kata Nirmala.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hingga kini masih diwarnai kontroversi di kalangan masyarakat dan tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada pendapat RUU ini berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan agama, definisi kekerasan seksual hingga cakupannya dianggap berperspektif liberal.

Di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan RUU PKS perlu segara disahkan karena korban kekerasan seksual masih sulit memperoleh perlindungan dalam berbagai aspek.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement