REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Cornelis Lay, berpulang pada 5 Agustus 2020 di RS Panti Rapih Yogyakarta. Pria yang akrab disapa Prof Cony tersebut berpulang di usia 61 tahun, meninggalkan satu orang istri dan dua orang anak.
Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UGM, Prof. Pratikno, mewakili Presiden Joko Widodo hadiri upacara penyemayaman dan pemberian penghormatan terakhir kepada Cornelis Lay. Dia mengatakan, Jokowi turut berduka cita atas berpulangnya Cony.
"Presiden menyampaikan duka cita yang mendalam atas kepergian Pak Cony," kata Pratikno, Kamis (6/8).
Dia menuturkan, kepergian Cony tidak cuma kehilangan bagi dunia akademik kampus tapi dunia politik Indonesia. Walaupun, Pratikno berpendapat, tentu saja tidak semua orang bersahabat dari sisi politik karena ada pesaing dan lawan politik.
Namun, dia meyakini, Cony akan tetap dilihat sebagai seorang pejuang dalam dunia politik. Menutup sambutan, Pratikno mengutip tulisan Presiden Jokowi dari buku biografi yang khusus didedikasikan untuk mendiang yang diterbitkan tahun lalu.
"Mas Cony yang saya kenal seorang akademisi, pemikir dan selalu kritis, tidak tergiur gemerlap jabatan, tidak terseret arus kekuasaan dan selalu berjuang untuk kemanusiaan," ujar Pratikno.
Cony sendiri lahir di Kupang, 6 September 1959, dan menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Pemerintahan UGM pada 1987, S2 di Saint Mary's University Canada, AS pada 1992 dan S3 ilmu Politik di UGM pada 2015.
Menjadi dosen sejak 1988, dan meraih jabatan Guru Besar pada 2018. Selain jadi dosen, semasa hidupnya ia pernah menjabat Kepala Biro Pemerintahan dan Politik Dalam Negeri pada Deputi Bidang Politik, Sekretariat Wakil Presiden 2000-2004.
Rektor UGM, Prof. Panut Mulyono menuturkan, Cornelis Lay merupakan intelektual UGM yang banyak memberi kontribusi pemikiran bagi pengembangan pendidikan ilmu pemerintahan dan politik. Dikenal sebagai pejuang dan pemikir besar Fisipol.
"Pemikiran besar dapat kita lihat dalam buku yang beliau tulis dan pada pidato pengukuhan guru besarnya tahun lalu," kata Panut.
Panut mengutip pidato Prof Cony dalam pengukuhan guru besar 6 Februari 2019 berjudul Jalan Ketiga Peran intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan. Cony menyampaikan refleksi pemikiran posisi intelektual saat hadapi kekuasaan.
Dia merasa, intelektual harus sadari ragam kekuatan politik yang bisa pengaruhi bentukan kurikulum, penilaian akademik dan pemikiran, relasi ke kemanusiaan. Intelektual harus sampaikan kebenaran dan tidak sembunyi dalam kebohongan.
"Pesan beliau, dosa terbesar kaum intelektual terletak pada kebohongan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya," ujar Panut.
Bagi Panut, Cony merupakan sosok nasionalis sejati yang selalu tampil ramah dan murah senyum. Ia mengenalnya pribadi yang hangat, ramah, mengayomi, dan memiliki kepedulian kepada orang-orang sekitarnya.