REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerugian negara dalam dugaan korupsi impor tekstil di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencapai Rp 1,6 triliun. Direktur Penyidikan Pidana Khusus di Kejaksaan Agung (Kejakgung) Febrie Adriansyah menerangkan, proses penyidikan kasus tersebut, sudah masuk ke tahap pemberkasan penuntutan sebelum disorongkan ke meja persidangan.
“Penyidikan bea cukai (importasi tekstil) sudah cukup BAP-nya. Ini sudah ke tahap satu. Cepat kita kerjanya ini, melihat karena sudah ada tersangka yang ditahan,” kata Febrie, di Gedung Pidana Khusus, Kejakgung, di Jakarta, Jumat (7/8). “Kerugian ekonomi negaranya, itu 1,6 triliun. Besar itu,” sambung Febrie. Angka pasti kerugian negara tersebut dibutuhkan penyidik sebagai dasar penerapan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam penuntutan.
Penyidikan dugaan korupsi impor tekstil dimulai sejak Mei lalu. Pada Juni, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus ini. Empat tersangka di antaranya, para pejabat di Kantor Pelayanan Umum (KPU) Bea Cukai, Batam, yakni Dedi Aldrian (DA), dan Hariyono Adi Wibowo (HAW), serta Kamarudin Siregar (KA), juga Muhammad Muklas (MM). Satu tersangka lainnya, pihak swasta, yakni Irianto (IR).
Terhadap lima tersangka tersebut, empat di antaranya sudah dalam tahanan sejak Rabu (24/6) lalu. Kecuali MM yang diketahui saat ditetapkan sebagai tersangka, dinyatakan dalam perawatan Covid-19. Terhadap kelima tersangka tersebut, Jampidsus menebalkan sangkaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor 20/2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1, dan Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Kasus dugaan korupsi impor tekstil, berawal dari penyelidikan dugaan perbuatan melawan hukum yang beruntun sejak 2018. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono pernah menerangkan, kasus tersebut terkait dengan izin masuk kepabean sebanyak 566 kontainer kain impor yang dilakukan PT Fleming Indo Batam (FIB), dan PT Peter Garmindo Prima (PT GDP) milik IR.
“Modus korupsinya dengan mengubah invoice, dengan nilai yang lebih kecil untuk mengurangi bea masuk yang seharusnya dibayar PT FIB, dan PT PGD,” terang Hari, Juni lalu. Pengubahan izin barang masuk tersebut, juga melakukan manipulasi data jenis, dan satuan barang impor. Hari pun mengatakan, asal barang berupa kain itu, pun dimanipulasi dalam dokumen izin masuk ke Indonesia. Kejakgung menemukan perizinan masuk yang berasal dari India. Akan tetapi, dalam penyidikan, kain impor PT FIB, dan PT GDP tersebut, berasal dari China yang diberangkatkan via pelabihan Hongkong menuju Batam, dan Jakarta.