REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir menyanyangkan, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak uji materi Perpres 64 Tahun 2020. Menurutnya, keputusan itu menutup pintu KPCDI untuk mengajukan kembali uji materi atas kebijakan menaikan iuran BPJS Kesehatan yang memberatkan masyarakat kurang mampu.
"Kami sebagai pasien cuci darah, terutama yang kurang mampu--tetapi tidak masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI)--tentu akan merasakan dampaknya. Apalagi, Perpres 64 Tahun 2020 juga menaikkan denda keterlambatan membayar menjadi 5 persen,” ujar Tony dalam keterangannya, Rabu (12/8).
Apalagi, lanjut Tony, di tengah pandemi Covid-19 dan menurunnya daya beli masyarakat, keputusan MA tersebut tentu sangat mengecewakan. Apabila gagal bayar iuran BPJS Kesehatan, berakibat kartu BPJS Kesehatan tidak aktif. Sementara, pasien harus bayar sendiri proses cuci darahnya dan pengobatan lainnya.
Tony menambahkan, kalau orang sehat tidak punya uang bayar iuran, mereka tidak memiliki resiko apapun di kesehatannya. Beda dengan pasien kronis atau pasien gagal ginjal yang kurang mampu, mereka akan menghentikan terapi tersebut.
"Fakta sudah membuktikan, dua kali atau lebih pasien tidak cuci darah nyawanya melayang," cetusnya.
Dengan ditolaknya gugatan uji materi tersebut, maka KPCDI akan melakukan berbagai langkah lainnya. Pihaknya akan menagih janji Komisi IX DPR RI sesuai kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada awal Desember tahun lalu yang menjanjikan akan mendesak Kementerian Sosial untuk memasukkan pasien cuci darah dalam kategori PBI, karena pasien dianggap sudah tidak produktif dan rentan PHK karena sakit”
“Kami juga menyerukan peningkatan kualitas pelayanan BPJS Kesehatan. Sudah tidak ada lagi cerita obat-obatan dan pemeriksaan laboratorium yang tidak dijamin bahkan dikurangi pelayanannya. BPJS harus segera berbenah diri," tutupnya.