REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bayu Adji P
YURI Rahman (38 tahun) telah belasan tahun bertugas di Instalasi Pemulasaraan Jenazah RSUD dr Soekardjo Kota Tasikmalaya. Namun, tak ada pekerjaan yang lebih berat baginya selain mengurus jenazah pasein Covid-19. Pandemi Covid-19 yang masuk ke Kota Tasikmalaya sejak Maret 2020 dan belum teratasi hingga saat ini menjadi pengalaman berarti baginya sebagai petugas pemulasaraan.
Berdasarkan catatan Republika, kasus pasien Covid-19 pertama di Tasikmalaya dikonfirmasi pada April 2020. Pasien itu berstatus sebagai pasien dalam pengawasan (PDP). Sesuai pedoman yang ada, jenazah PDP harus diurus sesuai Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020. Ketika itu, belum ada seorang pun yang memiliki pengalaman mengusur jenazah pasien Covid-19, termasuk para petugas pemularaan jenazah.
Ia bercerita dalam mengurus jenazah pasien Covid-19 tim pemulasaraan seluruhnya harus hadir. Hal itu pun terjadi ketika untuk pertama kali seorang PDP Covid-19 meninggal dunia. Kondisi Yuri yang baru saja piket 24 jam pun harus tetap ikut bertugas untuk memakamkan jenazah.
"Kalau kita habis piket 24 jam, ada jenazah Covid-19, harus datang lagi. Kalau ditelepon tak bisa, dijemput ke rumahnya," kata dia kepada Republika, Jumat (21/8).
Untuk mengurus jenazah pasien Covid-19, petugas harus menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Bukan hanya baju hazmat satu lapis, melainkan dua lapis. Ditambah jas hujan plastik, sarung tangan dua lapis, masker dua lapis, dan kacamata pelindung. Menurut dia, memakai pakaian berlapis itu bukanlah hal yang menyenangkan karena rasanya sesak dan pengap.
Penanganan jenazah pasien Covid-19 juga harus dilakukan secara hati-hati. Untuk melakukan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 diperlukan waktu sekira 2 jam hingga menyalatkan jenazah. Jika telah selesai, jenazah akan diserahkan ke petugas penguburan. Namun, jika tak ada petugas yang berani melakukan penguburan, petugas pemulasaraan yang harus turun tangan.
"Kalau sampai pemakaman, bisa sampai enam jam," kata dia.
Ia mengatakan, pernah suatu kali ketika bertugas menangani jenazah pasien Covid-19 hampir pingsan karena kepanasan mengenakan APD lengkap. Ia harus mengenakan APD lengkap selama lebih dari 8 jam.
Ia pun mengatakan para petugas pemulasaraan harus memikul beban mental. Yuri mencontohkan, selama menangani kasus Covid-19 dirinya agak sangsi untuk menggendong anaknya yang masih balita. Padahal, anak bungsunya itu saat ini menjadi penyemangat baginya.
"Tapi sayanya saja yang sadar diri. Beban mental juga. Takut bawa virus ke rumah," kata dia.
Yuri mengaku ikhlas menjalani tugasnya itu. Hanya saja, ia belakangan ini merasa cemburu lantaran insentif untuk petugas pemulasaraan tak kunjung cair. Sementara insentif untuk petugas kesehatan lainnya di RSUD dr Soekardjo sudah cair.
"Jadi maunya kita itu, ada perhatian sedikit. Kita yang tadinya ikhlas, liat yang lain cair, ya kadang jadi tak ikhlas," kata lelaki yang masih berstatus sebagai pegawai tidak tetap (PTT) di RSUD dr Soekardjo itu.
Sebelumnya, tim pemulasaraan jenazah Covid-19 RSUD dr Soekardjo Kota Tasikmalaya mengeluarkan isi hati mereka dalam baju hazmat yang mereka digunakan, pada Kamis dini hari. Ketika mereka sedang mengurus pemakaman jenazah salah satu pasien suspek Covid-19, baju mereka bertuliskan sejumlah kalimat curhat.
Dalam baju hazmat mereka, terdapat tulisan-tulisan seperti "KERJA TANPA UPAH", "KAPAN KAMI CAIR", "IRAHA (KAPAN) CAIR INSENTIF?, "PERHATIKAN KAMI", "ENGGAL CAIR HOYONG KAWIN (CEPAT CAIR MAU MENIKAH)". Tulisan-tulisan itu dibuat sebagai bentu protes lantaran insentif mereka selama menangani jenazah pasien Covid-19 belum juga cair.