REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY mengaku belum mengetahui terkait adanya praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan sejumlah sekolah, terutama SMA/SMK di DIY. Pungli ini dilakukan dengan berkedok sumbangan biaya masuk sekolah bagi siswa baru setelah proses PPDB dilakukan.
"Kami belum tahu (belum ada laporan pungli)," kata Kepala Disdikpora DIY, Didik Wardaya kepada Republika melalui pesan teks.
Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) pun menempuh jalur hukum dengan mengadukan permasalahan tersebut kepada Kejaksaan Tinggi DIY dan Perwakilan Ombudsman RI DIY, Senin (24/8) kemarin.
Didik mengatakan, pihaknya juga belum mendapat laporan dari AMPPY terkait aduan tersebut. Bahkan, pihaknya juga belum mendapat kejelasan dari AMPPY sekolah mana saja yang melakukan pungli. "Belum (ada laporan ke Disdikpora DIY)," ujarnya.
Seperti diketahui, AMPPY menempuh jalur hukum karena tidak ada upaya yang tegas dari Disdikpora DIY untuk memutus pungli. Terlebih, pungli oleh sekolah ini sudah terjadi tiap tahun.
"Jadi kita tempuh jalur hukum karena tidak berhenti, tiap tahun masih terus ada pungli. Ini harus diputus, anak maupun kaya atau miskin harus sekolah dengan nyaman," kata anggota AMPPY Yuliani.
Parahnya, praktik pungli ini dilakukan dengan berkedok sumbangan yang jumlahnya ditentukan sendiri oleh sekolah dan wajib dibayar dalam kurun waktu tertentu. Jumlah untuk sumbangan ini mencapai 4-5 juta rupiah dan siswa juga dibebankan dengan pembelian seragam wajib di sekolah.
Pembelian seragam ini biayanya mencapai Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 Juta. AMPPY menyebut jumlah sumbangan biaya masuk dan pembelian seragam ini juga terus naik tiap tahunnya.
Padahal, saat ini, sistem pembelajaran dilakukan dengan jarak jauh. Artinya, sumbangan biaya dan pembelian seragam sekolah masih dapat ditunda.
Yuliani menyebut, pungli tersebut sangat memberatkan siswa dan orang tua siswa. Terlebih, di tengah pandemi Covid-19 saat ini banyak pendapatan orang tua siswa yang menurun.
"Ini sama saja dengan merampok secara terang-terangan, pungutan tidak jelas. Di masa pandemi tidak ada sekolah yang tatap muka, tapi anggaran (sumbangan biaya masuk) seperti sebelum pandemi," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman RI DIY, Budhi Masthuri juga mengatakan, pemerintah daerah DIY tidak serius memutus praktik pungli di sekolah. Khususnya Disdikpora DIY dan Kanwil Kementerian Agama DIY.
Walaupun berkedok sumbangan, sekolah menentukan sendiri jumlah sumbangan dan wajib dibayar dalam kurun waktu tertentu. Budhi menegaskan, hal tersebut sudah termasuk pungli karena tidak ada dasar hukum dalam menentukan sumbangan di sekolah.
"Salah satu faktor penyebab pungli itu tidak bisa dicegah karena pemerintah tidak cukup serius dalam mengawasi dan mencegah itu. Kenapa? karena sampai sekarang belum ada dinas (pendidikan) menjatuhkan sanksi kepada sekolah yang melakukan pungli," kata Budhi.
Selain itu, Disdikpora DIY sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 421/04477 tentang Peran Orang Tua/Masyarakat Dalam Pendidikan. Poin kelima dalam SE tersebut mengatur terkait pembelian seragam sekolah.
Di dalam SE ditulis, bagi orang tua siswa yang tidak mampu diizinkan untuk tidak menggunakan seragam. Terlebih, di masa pembelajaran jarak jauh saat ini juga tidak menggunakan seragam.
Namun, SE tersebut tidak diterapkan oleh sekolah dengan baik. Parahnya, Budhi mengatakan, Disdikpora DIY maupun Kanwil Kemenag DIY sendiri tidak mengawasi penerapan SE tersebut di sekolah-sekolah.
"SE itu sebenarnya bukti dinas tidak serius, karena tidak termasuk produk hukum (peraturan perundang-undangan). Kalau mau serius harusnya yang diterbitkan peraturan kepala dinas atau peraturan gubernur," ujarnya.