Selasa 25 Aug 2020 18:45 WIB

Ribuan Buruh Geruduk Gedung DPRD Tolak Omnibus Law

Ada enam tuntutan yang disuarakan buruh dalam aksi tersebut.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Agus Yulianto
Ribuan buruh yang tergabung dalam Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (PERDA KSPI) Provinsi Jawa Timur menggelar aksi menolak Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja di depan Kantor DPRD Jatim, Selasa (25/8)
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Ribuan buruh yang tergabung dalam Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (PERDA KSPI) Provinsi Jawa Timur menggelar aksi menolak Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja di depan Kantor DPRD Jatim, Selasa (25/8)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ribuan buruh yang tergabung dalam Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (PERDA KSPI) Provinsi Jawa Timur menggelar aksi menolak Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja di depan Kantor DPRD Jatim, Selasa (25/8). Massa aksi tersebut berasal dari daerah-daerah industri seperti Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang, Jombang, Lamongan, hingga Tuban.

Ada enam tuntutan yang disuarakan dalam aksi tersebut. Tuntutan utamanya adalah menolak Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Tuntutan disuarakan lantaran isi RUU Cipta Keja khususnya dalam klaster ketenagakejaan dirasa banyak mereduksi nilai-nilai kesejahteraan pekerja atau buruh.

"Jika RUU Cipta Keja tersebut disahkan berpotensi hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, kontrak kerja terus-menerus tanpa batas dan hal lain yang merugikan buruh," kata Wakil Ketua DPW FSPMI KSPI Jawa Timur Nuruddin Hidayat.

 

Nuruddin mengatakan, saat ini Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19. Menurutnya, seharusnya DPR dan pemerintah lebih fokus terhadap penanganan pendemi tersebut yang berdampak tidak hanya tehadap kesehatan, tetapi juga ke perekonomian di Indonesia.

Massa juga menyuarakan keluhan yang dialami di saat pandemi seperti ini. Dimana pengusaha dengan mudahnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dengan alasan efisiensi. Padahal PHK alasan efisiensi dilarang oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor : 19/PUU-IX/2011.

"Mahkamah Konstitusi berpendapat  bahwa perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya seperti mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, mengurangi shif, membatasi kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja, tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya, dan memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat," ujarnya.

Massa aksi juga menolak diskriminasi program subsidi upah sebesar Rp 600 ribu. Menurutnya, program subsidi upah untuk pekerja yang upahnya di bawah Rp. 5 juta diskriminatif dan bedampak timbulnya kecemburuan sosial. Pasalnya pekerja yang mendapatkan subsidi upah tersebut hanya peserta BPJS Ketenagakerjaan.

"Faktanya di lapangan masih banyak pekerja yang tidak didaftarkan oleh pengusahanya kepada BPJS Ketenagakeraan," kata Nuruddin.

Massa aksi juga menuntut pembentukan Tim Unit Reaksi Cepat dalam rangka pencegahan PHK sepihak serta deteksi dini, monitoring dan pemeriksaan awal terhadap perusahaan yang bepotensi melakukan pelanggaran ketenagakerjaan. Menurutnya, Gubernur Jawa Timur harus segara membentuk Tim Unit Reaksi Cepat demi menghindari permasalahan tersebut.

Tuntutan lain yang disampaikan adalah menagih janji politik realisasi Perda Jatim tentang Jaminan Pesangon. Sistem Jaminan Pesangon dalam bentuk Peraturan Daerah ini merupakan janji Gubernur Khofifah di hadapan ribuan buruh Jawa Timur pada saat merayakan hari buruh internasional (May Day) 1 Mei 2019.

Tuntutan terakhir adalah menuntut kenaikkan upah minimum tahun 2021 sebesar Rp 600 ribu. Tuntutan kenaikkan itu didasarkan dari program pemerintah tentang subsidi upah sebesar Rp 600 ribu bagi pekerja yang upahnya di bawah Rp 5 juta. 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement