REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr Zahrotun Nihayah, mengatakan faktor ekonomi di tengah krisis pandemi Covid-19 memang dapat memicu keretakan di dalam rumah tangga. Dalam kondisi ini, kemungkin terburuk yang terjadi adalah perceraian.
"Istri dan anak tentu perlu dipenuhi kebutuhan pokok, tetapi jika ini tidak ada atau tidak tercukupi, bisa sangat membuat orang terpukul sehingga akhirnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kemudian pertengkaran, yang ujung-ujungnya adalah perceraian," kata Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu kepada Republika.co.id, Rabu (26/8).
Zahrotun menjelaskan, sebelum berujung cerai tentu ada tahapan-tahapan kejadian yang saling berkaitan satu sama lain. Seorang suami memang seharusnya memberi nafkah kepada keluarganya.
Akan tetapi dalam situasi krisis akibat pandemi ini tidak sedikit yang diberhentikan dari pekerjaannya. Sebagian suami mungkin telah berusaha dengan melakoni pekerjaan halal apapun tetapi masih ada kebutuhan dasar yang belum bisa dipenuhi.
"Income tidak ada, maka kesulitan untuk memenuhi keperluan sehari-hari, kebutuhan dasarnya. Jika tidak ada pendapatan, maka bagaimana kita bicara seseorang untuk menjadi sangat baik dan optimal dalam memberi nafkah, kecuali orang yang punya iman luar biasa," tutur dia.
Beratnya situasi sekarang ini, lanjut Zahrotun, bisa membuat orang stres bahkan depresi sehingga dapat menimbulkan terjadinya KDRT. KDRT tidak hanya berupa pemukulan tetapi juga ungkapan-ungkapan kasar yang dilontarkan kepada pasangan.
Karena itu, menurut Zahrotun, diperlukan pengelolaan emosi secara baik dalam sebuah keluarga. Selain itu, setiap anggota keluarga harus memahami situasi yang sedang terjadi sehingga muncul rasa saling mengerti satu sama lain.
"Termasuk juga kesehatan yang perlu dijaga, karena kesehatan ini juga menjadi salah satu pangkal preventif yang membuat orang bisa menjadi lebih sehat," imbuhnya.