Rabu 02 Sep 2020 11:14 WIB

KPK: Ambil Alih Kasus Jaksa Pinangki Harus Sesuai UU

KPK ambil kasus jaksa Pinangki jika syarat yang ditentukan oleh Pasal 10 A terpenuhi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Gedung KPK
Foto: Republika/Thoudy Badai
Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih memilih untuk bersikap 'wait and see' terkait pengambilalihan perkara dugaan suap jaksa Pinangki Sirna Malasari. KPK akan mengambil alih perkara yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejakgung) tersebut bila ada salah satu syarat yang terpenuhi.

"KPK memahami harapan publik terkait penyelesaian perkara tersebut, namun semua harus sesuai mekanisme aturan main, yaitu UU. KPK akan ambil alih jika ada salah satu syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 10 A terpenuhi, " kata Ali Fikri saat dikonfirmasi, Rabu (2/9).

Untuk itu, lanjut Ali, KPK mendorong Kejakgung transparan dan objektif dalam penanganan perkara ini. KPK mendorong Kejagung mengusut tuntas kasus ini dan menjerat pihak lain, termasuk pejabat di internal kedua institusi itu yang terlibat.

"Kembangkan jika ada fakta-fakta keterlibatan pihak lain karena bagaimanapun publik akan memberikan penilaian hasil kerjanya," ujar Ali.

 

Adapun, dalam pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK disebutkan, KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Pengambilalihan itu bisa dilakukan atas beberapa alasan. Poin pertama, yakni adanya laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti.

Poin kedua, pengambilalihan dilakukan bila proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Poin ketiga yakni bila penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya.

Kemudian, poin keempat adalah bipa penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi. Untuk poin kelima, pengambilalihan dilakukan bila ada hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif dan di poin keenam, yakni bila ada keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabakan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement