REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) prihatin atas kecenderungan Mahkamah Agung (MA) yang seringkali mengurangi hukuman para koruptor melalui putusan Peninjauan Kembali (PK). KPK khawatir kecenderungan tersebut menjadi angin segar bagi para koruptor, dan juga menjadi preseden buruk dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia.
"KPK prihatin karena kecenderungan pengurangan hukuman setiap pemohon PK oleh MA tentu menjadi angin segar bagi para koruptor. Di sisi lain putusan demikian juga tidak mendukung upaya pemerintah dalam perang melawan korupsi," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi, Kamis (10/9).
Ali menuturkan, KPK mencatat sepanjang periode 2019 hingga saat ini terdapat 15 perkara yang ditangani KPK yamg mendapatkan pengurangan hukuman melalui putusan PK. Terakhir, MA mengabulkan PK yang diajukan mantan Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi terkait kasus suap izin Amdal Transmart di Kota Cilegon.
Dalam amar putusannya, MA menjatuhkan hukuman 4 tahun pidana penjara terhadap Tubagus Iman Ariyadi atau berkurang dua tahun dibanding putusan pengadilan tingkat pertama, yakni 6 tahun pidana penjara. Namun, sambung Ali, sebagai bagian penegak hukum, KPK menghormati putusan majelis hakim PK tersebut.
KPK berharap MA agar dapat segera mengirimkan salinan putusan PK Iman Ariyadi agar dapat dipelajari lebih lanjut. Hal yang akan dipelajari yakni mengenai pertimbangan majelis hakim untuk mengkorting hukuman terpidana kasus suap perizinan Transmart tersebut. Harapan itu disampaikan lantaran KPK belum mendapat salinan putusan sejumlah perkara PK yang telah diputus MA.
"Saat ini beberapa perkara PK yang telah diputus majelis hakim, KPK belum mendapatkan salinannya sehingga tidak tahu pertimbangan apa yang menjadi dasar pengurangan hukuman tersebut," kata Ali.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai PK hanyalah akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum. ICW juga meminta kepada MA agar menolak 19 permohonan peninjauan kembali yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, sedari awal MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis ICW pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
"Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi, " tegas Kurnia.
Dalam konteks ini, lanjut Kurnia, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifudin mesti selektif untuk memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK. Semestinya hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan.
Tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak hakim agung, ini penting, agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan. Tren untuk mengurangi hukuman di tingkat PK ini mesti menjadi perhatian khusus bagi Ketua Mahkamah Agung.
Sebab, berdasarkan data ICW sejak Maret 2019 lalu sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK. Jika ini terus menerus berlanjut, maka publik tidak lagi akan percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi.
Diketahui, MA baru saja mengabulkan permohonan PK yang diajukan mantan Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi terkait kasus suap izin Amdal Transmart di Kota Cilegon. Dalam amar putusan, MA menjatuhkan hukum 4 tahun pidana penjara terhadap Tubagus Iman Ariyadi atau berkurang dua tahun dibanding putusan pengadilan tingkat pertama, yakni 6 tahun pidana penjara.
"MA kemudian mengadili kembali, menyatakan bahwa Pemohon PK terbukti bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersma-sama dan berlanjut, menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 4 tahun denda sebesar Rp 250 juta subsider 2 bulan kurungan," terang Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro.