REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay mengatakan penundaan pilkada ditujukan agar pemangku kepentingan membenahi regulasi untuk mengatur tata cara pelaksanaan pilkada saat pandemi Covid-19. Undang-Undang (UU) tentang Pilkada yang berlaku saat ini hanya mengatur mekanisme pilkada dalam kondisi normal.
"Kita tak ingin pilkada justru menjadi bencana buat kita semua. Jadi tunda dulu beberapa waktu, tiga sampai enam bulan, benahi dulu peraturannya," ujar Hadar dalam diskusi daring, Selasa (22/9).
Hadar mengatakan, penundaan pilkada bukan berarti menghentikan proses demokrasi. Pilkada ditunda juga bukan sampai pandemi Covid-19 benar-benar berakhir atau menungggu vaksin ditemukan, melainkan dijeda beberapa bulan agar segala aturannya disiapkan secara menyeluruh.
Antisipasi kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19 dalam setiap kegiatan pilkada harus diatur dalam UU Pilkada. Menurut Hadar, tak cukup jika hanya sekadar imbauan agar semua pihak tidak melakukan pengumpulan massa, karena pasangan calon pasti ingin menunjukkan kekuatan politiknya dengan pengerahan massa pendukung dalam kegiatan pilkada.
Jika aturan pencegahan pelanggaran protokol kesehatan sudah diatur, langkah selanjutnya ialah menyiapkan regulasi penjatuhan sanksi mulai dari teguran hingga pembatalan calon kepala daerah. Aturan sanksi ini juga harus diatur melalui UU Pilkada sebagai norma baru pelaksanaan pemilihan kala pandemi.
"Jadi itu harus dirombak semua. Karenanya perlu kita tunda dulu, kami atau kita semua tentu tidak berpikiran juga, oke pilkada kita tunda dan dilaksanakan kalau pandemi selesai, bukan itu. Jadi kalau bapak presiden selalu ngomong demikian keliru," kata Hadar.
Hadar menambahkan, sejumlah pegiat pemilu yang mendesak penundaan, menginginkan pilkada dilaksanakan saat semua instrumen hukum sudah siap menyelenggarakan pemilihan dalam kondisi pandemi. Metode lain yang memungkinkan untuk menggantikan kegiatan pertemuan fisik juga harus diatur dalam perubahan UU Pilkada, seperti pemungutan suara melalui kotak suara keliling dan rekapitulasi elektronik.
Dengan demikian, banyak pengaturan penyesuaian pelaksanaan pilkada di tengah pandemi yang tak cukup hanya diatur di Peraturan KPU (PKPU), melainkan melalui perubahan UU Pilkada. Hal ini sebagai upaya mengisi kekosongan hukum, kewenangan setiap institusi/lembaga yang lebih jelas, dan sanksi yang bisa membuat pelanggar protokol kesehatan jera.