REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen IPB University dari Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Rini Hidayati memberikan penjelasan terkait fenomena alam hujan es yang sempat mengguyur wilayah Bogor, Ciamis dan beberapa wilayah lainnya beberapa hari lalu. Menurutnya, hujan es yang terjadi tersebut berbeda dari hujan salju.
Rini mengatakan, kejadian tersebut tidak sering, namun juga tidak jarang. Kejadian hujan es biasa terjadi kalau kondisi udara panas, dan kondisi uap air yang ada di udara cukup banyak. "Kondisi ini biasanya terjadi di akhir musim kemarau atau awal musim hujan dengan udara yang panas dan lembab, terutama karena banyak uap air yang dibawa oleh angin dari lautan," katanya, dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Jumat (25/9).
Rini menambahkan, fenomena hujan es ini terkait erat dengan kejadian Equinox, yakni saat matahari tepat berada di ekuator sehingga penerimaan energi matahari di wilayah dekat ekuator cukup tinggi. Kondisi panas dan lembab tersebut menyebabkan terbentuknya awan Cumulonimbus (Cb), yaitu awan yang tumbuh vertikal dari ketinggian yang rendah (kurang dari 2000 meter) sampai dengan ketinggian belasan kilometer.
Rini mengatakan, awan Cb ini tumbuh vertikal hingga melampaui lapisan suhu nol derajat Celcius, berpotensi terjadi pembekuan sehingga butiran hujan menjadi padat (es). "Saat turun belum sepenuhnya luruh sehingga sampai ke permukaan tanah masih dalam bentuk padatan," tuturnya.
Kejadian hujan es sebenarnya sering terjadi, terutama di daerah-daerah yang tidak jauh dari laut. Misalnya, di Jawa ini, hampir seluruh wilayah tidak jauh dari laut dan berpotensi dapat terjadi hujan es.
Kondisi tersebut berbeda dengan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. "Sumatera bagian barat, sering terjadi hujan es. Sementara, wilayah bagian timur dan Kalimantan bagian Timur sangat jarang terjadi hujan es," ucap Rini.
Seiring dengan pola berakhirnya musim kemarau dan datangnya awal musim hujan, fenomena hujan es mempunyai pola pergeseran dari wilayah barat In donesia ke arah timur. Penerima hujan es umumnya dimulai dari Sumatera bagian Barat Laut ke arah Selatan dan Timur, kemudian menyusul Jawa bagian barat dan selanjutnya ke arah timur dengan skala yang masih sulit diperhitungkan.
"Karena fenomena ini bergeser, wilayah di Timur dari Bogor misalnya perlu bersiap-siap menerima hujan es yang disertai badai dan petir ini," kata Rini.
Hujan es tidak memberikan dampak kerusakan yang mengkhawatirkan karena es yang turun tidak merusak rumah maupun mobil. Namun, Rini menekankan, dampak negatif justru datang dari hujan lebat, petir dan angin yang menyertainya. Sebab, petir yang menyertai lebih berbahaya dan anginnya kencang bahkan bisa terbentuk puting beliung.
Fenomena hujan badai juga dapat menyebabkan banjir bandang. Khususnya apabila hujan terjadi di dataran tinggi dengan lereng terjal dan vegetasi minim. Hujan yang terjadi harus diwaspadai terutama di wilayah lereng yang berpotensi menimbulkan longsor.