Sabtu 26 Sep 2020 23:25 WIB

KPAI: Peserta Didik Minta Kuota Internet Diperbesar

Usulan perubahan disampaikan karena kuota umum internet 5 GB dianggap kurang.

Sejumlah pelajar saat melakukan registrasi nomor kartu perdana yang telah dibagikan di SMK Negeri 8 Jakarta, Kamis (3/9). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai mendistribusikan subsidi kuota internet melalui kartu perdana yang akan diberikan kuota gratis setiap bulannya kepada pelajar, mahasiswa, guru dan dosen untuk memperlancar pembelajaran jarak jauh. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pelajar saat melakukan registrasi nomor kartu perdana yang telah dibagikan di SMK Negeri 8 Jakarta, Kamis (3/9). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai mendistribusikan subsidi kuota internet melalui kartu perdana yang akan diberikan kuota gratis setiap bulannya kepada pelajar, mahasiswa, guru dan dosen untuk memperlancar pembelajaran jarak jauh. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan menerima pengaduan melalui aplikasi WhatsApp, Twitter dan Facebook terkait usulan perubahan kuota internet dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Para pengadu hanya menyampaikan agar keluhan dan usulan mereka disampaikan kepada pengambil kebijakan di Kemdikbud.

"Usulan perubahan disampaikan karena kuota umum 5 GB dianggap kurang, sementara kuota belajar 30 GB berlebihan, bahkan berpotensi mubazir," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti melalui keterangan pers di Jakarta, Sabtu (26/9).

Baca Juga

Sementara itu, jumlah pengadu tersebut mencapai 50 orang per tanggal Jumat (25/9), terdiri dari siswa, guru dan orang tua yang melakukan pengaduan melalui media sosial, dan mayoritas pengadu adalah usia anak dengan jenjang pendidikan SMA/SMK.

Adapun wilayah pengadu cukup bervariatif, yaitu 24 persen berasal dari DKI Jakarta, 18 persen dari Jawa Barat, 16 persen dari Sumatera Barat, 8 persen dari Jawa Tengah, masing-masing 6 persen dari Riau dan Sumatera Utara, masing-masing 4 persen dari Banten dan Nusa Tenggara Barat, dan masing-masing 2 persen dari Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Papua.

Para pengadu tersebut, kata Retno, menganggap bahwa kebijakan kuota dari Kemdikbud kurang sesuai dengan kebutuhan PJJ karena paket kuota internet yang diberikan kepada peserta didik PAUD adalah 20 GB per bulan, tetapi dari jumlah tersebut kuota umumnya hanya 5 GB dan 15 GB sisanya kuota belajar yang kurang banyak dimanfaatkan. Sementara, kuota untuk peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah 35 GB per bulan dengan rincian 5 GB untuk kuota umum dan kuota belajar 30 GB.

Komisioner KPAI kemudian menggali usulan dari para pengadu berbasis pada kebutuhan riil, dan KPAI juga mencoba memberikan pilihan usulan agar memudahkan analisis kebutuhan kuota PJJ menurut para pengadu.

Dari hasil analisis KPAI terhadap kebutuhan riil para guru dan siswa tersebut, Retno menyebutkan bahwa sekitar 2 persen pengadu mengusulkan agar kuota umum menjadi 10 GB kuota dan kuota belajar 25 GB.

Kemudian sebanyak 8 persen pengadu menginginkan kuota umum menjadi 15 GB dan kuota belajar 20 GB. Berikutnya 26 persen menginginkan kuota umum menjadi 20 GB dan dan kuota belajar 15 GB, sedangkan mayoritas pengadu atau sebanyak 40 persen di antaranya mengusulkan seluruh kuota yang diberikan adalah kuota umum agar bisa lebih fleksibel.

Sementara itu, 16 persen sisanya mengusulkan lainnya, seperti untuk aplikasi WhatsApp saja, 35 GB untuk kuota belajar saja, kuota unlimited, 75 persen kuota umum dan 25 persen kuota belajar, 50 GB kuota umum dan 50 GB kuota belajar dan ada juga yang mengusulkan subsidi seluruh provider agar internet murah dapat digunakan oleh semua rakyat Indonesia.

Para pengadu mengatakan alasan mereka untuk mengusulkan penambahan kuota umum adalah karena aplikasi yang kerap mereka gunakan tidak termasuk aplikasi yang bisa menggunakan kuota belajar, di antaranya beberapa sekolah membangun e-learning dan LMS di server dan include dalam website sekolah masing-masing.

Kemudian, di wilayah pengadu, sekolah mereka menggunakan aplikasi e-learning yang disiapkan oleh Cabang Dinas Pendidikan yang terintegrasi dengan YouTube dan aplikasi belajar yang digunakan tersebut sifatnya lokal atau hanya ada di daerah tersebut, bukan nasional, sehingga kuota belajar tidak bisa digunakan oleh guru dan siswa.

Sementara itu, menurut pengakuan para pengadu lain yang merupakan siswa jenjang SMK, PJJ yang dilakukan hampir setiap hari hampir seluruhnya menggunakan mesin pencari untuk melihat praktik bidang keahliannya, seperti jurusan tata boga untuk mencari referensi di aplikasi Youtube untuk praktik memasak dan cara penyajian makan.

Di bidang keahlian perhotelan juga demikian. Begitupun bidang keahlian pertanian yang akan mencari video seperti cara pembibitan, atau bidang keahlian otomotif untuk mencari video praktik sesuai jurusan atau bidang keahliannya.

Sementara aplikasi YouTube tidak termasuk dalam paket kuota belajar. Dengan demikian para siswa SMK justru lebih banyak membutuhkan kuota umum.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement