REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, menjelaskan tentang tudingan ketidakakuratan hasil tes PCR yang dilakukan lembaganya. Ia mengatakan, BIN menerapkan ambang batas standar hasil tes PCR yang lebih tinggi dari institusi atau lembaga lain.
Terkait hasil false positive maupun false negative, menurut Wawan, itu bukan hal yang baru. "BIN menerapkan ambang batas standar hasil PCR tes yang lebih tinggi dibandingkan institusi/lembaga lain yang tercermin dari nilai CT QPCR," ungkap Wawan dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/9).
Dia menjelaskan, nilai ambang batas bawah pada umumnya sebesar 35, namun untuk mencegah orang tanpa gejala (OTG) lolos screening, maka BIN menaikkannya menjadi 40. Termasuk juga dalam melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen, yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.
"Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN, termasuk jaringan intelijen di WHO menjelaskan fenomena hasil test swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru," jelas dia.
Itu bisa terjadi karena sejumlah hal. Pertama, RNA atau protein yang tersisa, jasad renik virus, sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada treshold sehingga tidak terdeteksi lagi. Apalagi ketika subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda.
"OTG atau asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut," kata Wawan.
Kedua, terjadi bias pre-analitik, yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan sop berbeda pada laboratorium yang berbeda. Itu dapat membuat sampel swab sel yang berisi virus Covid tidak terambil atau terkontaminasi.
Ketiga, sensitivitas reagen dapat berbeda, terutama untuk pasien yang nilai Cq atau Ct-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, kata Wawan, BIN menggunakan reagen Perkin Elmer dari Amerika Serikat, A-Star Fortitude dari Singapurea, Wuhan Easy Diag dari China.
Menurutnya, standar dan sensitivitas terhadap strain Covid-19 reagen-reagen itu lebih tinggi jika dibandingkan merk lain. Merk lain itu seperti Genolution dari Korea dan Liferiver dari China yang digunakan beberapa rumah sakit.
"Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit," terang dia.
Wawan menyatakan, BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri, kata dia, telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia.
Dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan dua jenis mesin RT PCR, yaitu jenis Qiagen dari Jerman dan jenis Thermo Scientific dari Amerika Serikat. BIN juga memiliki sertifikat lab BSL-II.
Lab BSL-II itu telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium, telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, World Bio Haztec serta melakukan kerja sama dengan LBM Eijkman untuk standar hasil tes.
"Sehingga layak digunakan untuk analisis reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT PCR) yang sesuai standar," kata dia.