REPUBLIKA.CO.ID, Pandangan negatif Barat terhadap Nabi Muhammad SAW sudah terjadi sejak awal persinggungan Islam—Kristen terjadi.
Peter, seorang pendeta dari Maimuna menyebut Nabi Muhammad sebagai nabi palsu. John of Damascus (m 750 M) menyatakan bahwa Muhammad mengajarkan anti-Kristus, penipu, licik, memiliki hobi perang dan nafsu seksual tak tersalurkan (Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: The Heresy of The Ishmaelites, 1972).
Lalu Pastor Bede dari Inggris (m 735 M) menyebut Muhammad sebagai a wild man of desert, kasar, suka perang, biadab, buta huruf, miskin, dan tamak kekuasaan.
Nabi Muhammad disebut dengan Mahound, atau Mahon, Mahomet, atau Machamet yang dalam bahasa Prancis berarti berhala (Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis Memalsukan Islam, 1991). Komentar tidak sedap terhadap Muhammad terus dilontarkan tokoh-tokoh Barat Abad Pertengahan.
Ketika memasuki era renaissance, pandangan negatif terhadap Nabi Muhammad makin kasar. Sebut saja Marlowes Tamburline yang menuduh Alquran sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad seba gai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Voltaire mengatakan Muhammad adalah ekstremis dan pendusta yang hebat. Dalam karyanya, Essai Surles Moers dan Mahomet, Voltaire menganggap keberhasilan Muhammad karena didorong faktor ambisi, bukan faktor agama.
Pandangan negatif orientalis Barat selalu berkisar pada masalah pribadi Nabi SAW seperti nafsu seks, haus perang dan kekuasaan, penyontekan Alquran dari tradisi Yahudi dan Nasrani, penyakit epilepsi, ahli syair, dan tukang sihir. Komentarnya ada yang ilmiah, dalam arti didukung dengan sumber rujukan yang “dipelintir”, dan ada pula yang tidak ilmiah yang hanya sekadar mencaci maki.
Di antara pandangan negatif yang dikategorikan ilmiah menurut Buaben adalah Sir William Muir dalam karyanya, The Life of Muhammad from Original Source, dan David Samuel Margo liouth terutama dalam bukunya, Muhammad and the Rise of Islam.
Dengan menggunakan kritik hadits yang diambil dari sumber klasik, Muir berpendapat bahwa semua cerita yang menggambarkan kejelekan Muhammad adalah benar dan yang menunjukkan kebaikannya adalah salah.
Buaben menilai Muir terlalu berlebihan dalam menekankan kepalsuan kenabian Muhammad, pemalsuan wahyu untuk membenarkan perbuatan bejat, kekejaman seksualitas dan tindakan tidak bermoral lainnya (Jabal Muhammad Buaben, Image of The Prophet Muhammad in West, 1997).
Sementara Margoliouth dengan menggunakan sumber-sumber klasik seperti at-Thabari, Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hajar mengangkat masalah Muhammad yang terkena penyakit epilepsi, Alquran adalah ciptaan Muhammad, Muhammad seorang penipu yang cerdik memanipulasi pengikutnya sampai pada tingkat berzina dan penindasan terhadap Yahudi dan Nasrani.
Muir dan Margoliouth serta kebanyakan orientalis abad ke-20 seperti Canon Edwar Sell, Michael Cook, Henri Lammenes, Richard Bell, dan Patricia Crone meng analisis sosok Muhammad dengan pendekatan Abad Pertengahan yang cenderung negative image.
Sementara itu, beberapa orientalis seperti Maxime Rodinson, Norman Da niel, dan Montgomery Watt berusaha melepaskan diri dari prasangka penda hulunya dalam menganalisis sirah Muhammad.
Watt mengkritik pendekatan propaganda perang Abad Pertengahan. Watt mengganti metode konfrontasi dengan dialog. Watt ingin mencoba lebih “bersahabat” dan berempati, setidaknya dibanding Muir dan Margoliouth. Namun, Buaben masih mengkritik Watt bah wa seperti halnya Muir dan Mar goliouth, Watt pun masih loyal terhadap pendahulunya di Abad Pertengahan (Muhidin Mulalic, Cara Barat Meman dang Muhammad”, Islamia Vol III/No 2).