Polisi mengenakan masker dan pakaian hazmat saat mengamankan unjuk rasa penolakan buruh terhadap (FOTO : ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA)
Polisi mengenakan masker dan pakaian hazmat saat mengamankan unjuk rasa penolakan buruh terhadap (FOTO : ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )
Polisi mengenakan masker dan pakaian hazmat saat mengamankan unjuk rasa penolakan buruh terhadap (FOTO : ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )
Polisi mengenakan masker dan pakaian hazmat saat mengamankan unjuk rasa penolakan buruh terhadap (FOTO : ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Dalam aksinya mereka menolak omnibus law Rancangan Undang-Undangan (RUU) Cipta Kerja karena dinilai lebih menguntungkan pengusaha, serta mengancam akan melakukan mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 atau saat sidang paripurna DPR membahas RUU Cipta Kerja. (FOTO : ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/9/2020). Dalam aksinya mereka menolak omnibus law Rancangan Undang-Undangan (RUU) Cipta Kerja karena dinilai lebih menguntungkan pengusaha, serta mengancam akan melakukan mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 atau saat sidang paripurna DPR membahas RUU Cipta Kerja. (FOTO : ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )
inline
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengamankan aksi unjukrasa di tengah pandemi memerlukan upaya ekstra. Walau jumlah massa tidak sebanyak sebelum masa pandemi, kerumunan manusia tetap berpotensi menjadi tempat penyebaran virus covid-19.
Polisi yang mengenakan pakaian APD berjaga saat aksi unjuk rasa buruh menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/9).
Dalam aksinya para buruh dari 62 konfederasi tersebut menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dinilai merugikan buruh dan berpihak pada kepentingan investor, serta berencana akan melakukan aksi mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020.
sumber : Antara Foto
Advertisement