REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan beberapa hal yang ditolak dari hasil pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) oleh Panja Baleg DPR RI dan Pemerintah. Di antaranya, hilangnya Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK), karyawan kontrak, dan outsourcing hingga Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Menurut Said Iqbal, ketika UMSK hilang berarti upah buruh di sektor industri yang selama ini ada UMSK akan turun 30 persen dengan berlakunya omnibus law. Hal ini karena UMSK adalah upah minum berdasarkan sektor industri, yang nilainya di atas upah minimum (UMK).
“Jumlah buruh penerima UMSK saat ini adalah puluhan juta orang. Sehingga tidak mungkin dalam satu pekerjaan dengan jumlah jam kerja yang sama akan ada buruh menerima UMK dan yang lainnya UMSK, karena akan terjadi diskriminasi,” kata Said Iqbal, Selasa (29/9).
“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara,” lanjutnya.
Karena itu, ia bersikeras UMSK harus tetap ada. Jalan tengahnya, ia mengusulkan penetapan nilai kenaikan yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional sehingga tidak lagi diputuskan di tingkat daerah.
Kedua, jenis industri yang mendapatkan UMSK tertentu saja sehingga tidak semua industri mendapatkan UMSK sesuai kemampuan sektor industri tersebut dan tercipta keadilan. Ketiga, UMSK hanya diterapkan di beberapa daerah. “Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” kata dia.
Hal yang disoroti lainnya, yakni karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, tanpa batasan waktu, dan jenis pekerjaan. Menurut Said Iqbal, ini adalah masalah serius karena pengaturan ini akan membuat tidak ada pengangkatan karyawan tetap.
Ia mengatakan, pengusaha akan cenderung mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Ketika tidak ada karyawan tetap dan banyak buruh kontrak yang mudah dipecat, ia menambahkan, pesangon dan jaminan sosial seperti pensiun, hari tua, serta jaminan kesehatan akan berpotensi hilang atau tidak didapatkan buruh.
Ia memandang, pengesahan omnibus law nantinya dapat berimbas pada negara hanya akan membuat jumlah karyawan tetap di Indonesia hanya pada kisaran 5-15 persen dari total buruh formal sebanyak 56 juta. “Jadi No job security untuk buruh Indonesia, lantas apa ini tujuan investasi,” kata dia.
Selain itu, Said Iqbal juga mempertanyakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing. “Siapa yang akan membayar JKP mereka? Sebab tidak mungkin buruh membayar kompensasi kehilangan pekerjaan untuk dirinya sendiri, dengan iuran JKP yang buruh ikut mengiur?” kata dia.
Said Iqbal berpandangan, tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing dibayar negara. Jjumlah karyawan kontrak dan outsourcing mencapai 70 persen sampai 80 persen dari total buruh formal yang bekerja sekitar 56 juta orang.
"Jika JKP-nya ditanggung pemerintah, darimana dananya? Bisa jebol APBN," tegasnya.
Selain itu, tingkat keluar-masuk buruh outsorcing sangat tinggi. Apalagi, ia menambahkan, rancangan RUU Cipta Kerja sudah mengatur bahwa JKP yang ditanggung pemerintah adalah JKP 9 bulan untuk pesangon karyawan tetap.
Pembayaran dilakukan pengusaha atau agen juga hal yang tidak mungkin. ”Wong pemerintah saja mengakui bahwa hanya 27 persen pengusaha yang bayar pesangon apalagi harus bayar JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing? Sangat mustahil pelaksanaan di lapangan.” katanya.
Karena itu, ia mengatakan, isu hilangnya UMSK, berlakunya karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup akan mendapatkan perlawanan keras dari serikat buruh. Ia pun menyebut rancangan ini sebagai bentuk perbudakan. "Negara harus hadir tidak boleh tunduk oleh modal,” tegas Said Iqbal.