REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memberi catatan satu tahun kinerja DPR RI. Dalam masa kinerja yang dilewati pada masa pandemi Covid-19 ini, Formappi menilai, DPR tak menunjukkan kinerja yang responsif atas pandemi yang berlangsung.
"Jika melihat dinamika DPR sehari-hari sejak pertama kali Pemerintah mengumumkan kluster pertama penularan Covid-19, tak terlihat respons DPR yang menunjukkan bahwa pandemi ini merupakan sesuatu yang serius," ujar Peneliti Formappi Lucius Karus dalam pesan yang diterima Republika.co.id, Jumat (2/10).
Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020, DPR tengah melaksanakan reses di daerah pemilihan. Idealnya,menurut Formappi, jika DPR sejak awal menganggap pandemi ini sesuatu yang serius, maka repons cepat yang harus dilakukan adalah mengagendakan penyelenggaraan Rapat Paripurna Luar Biasa sesuai Tata Tertib DPR, Pasal 229 untuk membicarakan kebijakan cepat yang harus diambil dalam menghadapi sekaligus mengatasi situasi dan dampak lanjutan pandemi.
Yang terjadi, DPR justru menunda rapat paripurna pembukaan MS III dari yang sebelumnya dijadwalkan pada 23 Maret menjadi 30 Maret. Dengan menunda jadwal rapat paripurna pembukaan, DPR kehilangan momentum untuk menjadi penanggungjawab utama yang bersama pemerintah menentukan arah kehidupan berbangsa di tengah situasi pandemi.
"Dalam perkembangan selanjutnya, sikap DPR dalam melihat pandemi tak ada bedanya dengan cara pandang mereka pada kondisi normal," katanya.
Dalam banyak momen, Ketua DPR memang mengingatkan fokus bangsa pada penanganan pandemi. Akan tetapi peringatan Ketua DPR itu tak terlihat ditindaklanjuti oleh setiap alat kelengkapan DPR melalui perumusan agenda kegiatan yang terfokus pada pandemi. Faktanya hanya mekanisme pelaksanaan sidang saja yang berubah pada DPR sepanjang masa pandemi (dari pertemuan tatap muka ke daring).
"Tak terlihat adanya perubahan dalam perencanaan yang fokus pada upaya penanganan pandemi," ujar Lucius.
Hingga sekarang, agenda kerja DPR masih melanjutkan rencana-rencana yang disusun sebelum kemunculan pandemi. Proses pembahasan RUU bahkan terlihat cenderung tak memedulikan situasi krisis akibat pandemi. Pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) justru dikebut seiring dengan terus meningkatnya jumlah rakyat yang tertular virus corona.
Demikian halnya dengan RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Bea Meterai, RUU Minerba yang berhasil disahkan DPR selama masa pandemi ini. Lucius menjelaskan, kegagalan memberikan sumbangsih pada upaya penanganan pandemi juga bisa dilihat dalam pelaksanaan fungsi pokok DPR yang lain yakni fungsi anggaran dan pengawasan. Peran DPR dalam membahas anggaran mestinya terlihat pada upaya DPR menginisiasi peruntukkan anggaran negara untuk kepentingan menangani pandemi.
Kemudian yang mestinya menjadi keutamaan DPR adalah pengawasan. Dengan fungsi pengawasan, DPR bisa memberikan sumbangsih bagi terlaksananya kebijakan pemerintah secara cepat dan tepat dalam masa pandemi ini. Lucius menyoroti banyaknya kebijakan yang diluncurkan pemerintah untuk penanganan pandemi, tetapi sejauh ini hasilnya tak berdampak efektif bagi penurunan angka penularan Covid-19.
"Jika fungsi pengawasan DPR berjalan efektif, maka akan segera terlihat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah di lapangan," katanya.
Dengan demikian pembentukan dua tim khusus DPR (Tim Satuan Tugas Lawan Covid-19 dan Tim Pengawas DPR RI terhadap Pelaksanaan Penanganan Bencana Pandemi Covid-19) untuk penanganan Covid-19 dinilai Formappi nampak sia-sia karena hasil kerjanya tidak punya pengaruh dalam rangka menangani pandemi.
"Maka bisa disimpulkan bahwa ketiga fungsi pokok yang menjadikan DPR punya peran krusial dalam kehidupan berbangsa kita cenderung gagal dalam memberikan sumbangan bagi penanganan pandemi yang masih berlangsung hingga saat ini," lanjutnya.
Semua kendali utama kebijakan untuk memastikan keselamatan warga negara di hadapan pandemi ada pada pemerintah. DPR terlihat hanya pengikut, bukan lembaga yang menentukan dengan peran menjadi penyeimbang pemerintah.
Satu contoh untuk menunjukkan betapa DPR cenderung tak berdaya di hadapan pemerintah ketika mereka juga mendukung pelaksanaan Pilkada dilanjutkan pada 9 Desember nanti. Sebagai wakil rakyat, DPR enggan membawa suara penolakan warga atas pelaksanaan Pilkada dan memilih untuk mendukung keinginan pemerintah.
"Jika DPR terus dengan posisinya sebagai "pendukung setia" pemerintah, maka sulit berharap bahwa aspirasi rakyat masih relevan untuk disampaikan melalui DPR. Dengan kata lain peran DPR sebagai perwakilan rakyat sudah terkooptasi oleh kepentingan politik DPR sendiri," ujar Lucius menambahkan.
Formappi mengingatkan, masih ada 4 tahun tersisa sebelum akhir periode, DPR masih punya waktu untuk membuktikan seberapa mereka jujur sebagai wakil rakyat.