Presiden Suriah Bashar al-Assad memastikan keterlibatan militan dari Suriah di Nagorno-Karabakh. Turki dan Azerbaijan selama ini menolak tuduhan Prancis, Rusia dan Iran, menggunakan gerilayawan bayaran dari Suriah untuk berperang dengan Armenia.
“Damaskus bisa mengonfirmasikan hal ini,” kata dia dalam wawancara dengan kantor berita Rusia, RIA Novotsi, Selasa (6/10). Pernyataan tersebut memperkuat tekanan terhadap Ankara yang dituding ikut mengompori konflik antara kedua negeri jiran. PM Armenia, Nikol Pashinian, mengatakan “gencatan senjata cuma bisa dicapai jika Turki menarik diri dari Kaukasus Selatan.”
Ankara selama ini balas menuduh Armenia menggunakan militan Kurdi, namun gagal menunjukkan bukti. Harian Inggris, Guardian, pekan lalu melaporkan gerilayawan oposisi di Provinsi Idlib, Suriah, mengabarkan mereka ditawarkan bekerja melindungi fasilitas minyak dan gas di Azerbaijan selama tiga hingga enam bulan. Untuk itu masing-masing mendapat upah hingga £1.000 atau setara Rp 19 juta per bulan.
Menurut laporan Guardian, mobilisasi sistematis militan dari Suriah mengindikasikan eskalasi konflik di Nagorno-Karabakh sudah direncanakan Azerbaijan sejak waktu lama.
Sebaliknya Turki yang merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), juga didesak sekutu sendiri agar menahan diri. Sekretaris Jendral NATO, Jens Stoltenberg, mengatakan “aliansi sangat mengkhawatirkan eskalasi kekerasan,” di Nagorno-Karabakh, dan meminta Turki untuk “menggunakan pengaruh signifikannya untuk meredakan ketegangan.”
Iran lancarkan mediasi damai
Iran yang berbatasan dengan Armenia dan Azerbaijan, mengatakan sedang menggodok rencana damai untuk mengakhiri pertempuran yang pecah sejak 27 September tersebut. Kementerian Luar Negeri di Teheran enggan membahas detail, namun memastikan akan mengupayakan damai antara kedua negara.
“Iran sudah menyiapkan rencana dengan kerangka kerja yang spesifik dan rinci, setelah berkonsultasi dengan kedua pihak yang bertikai, Azerbaijan dan Armenia, serta negara-negara regional dan tetangga, untuk mendukung rencana ini,” kata Jurubicara Kemenlu Iran, Saeed Khatibzadeh.
Iran yang memiliki garis perbatasan sepanjang 760 kilometer dengan kedua negara, mewanti-wanti agar tidak melebarkan konflik melampaui batas teritorialnya. “Setiap bentuk agresi di perbatasan terhadap Republik Islam, meski tidak disengaja, adalah pelanggaran serius,” kata Khatibzadeh lagi.
Sejak awal konflik, tembakan mortar berulangkali tersasar ke kawasan pemukiman di utara Iran, menyebabkan korban luka pada anak-anak dan kerusakan bangunan.
Dendam lama di Nagorno-Karabakh
Wilayah Nagorno-Karabakh yang merupakan teritori Azerbaijan, berada di bawah pendudukan milisi etnis Armenia yang didukung pemerintah di Yerevan sejak berakhirnya perang separatisme pada 1994.
Serangan Azerbaijan kebanyakan diarahkan ke ibukota wilayah kekuasaan seperatis, Stepanakert. Menurut Armenia, militer Azerbaijan membombardir kota dengan senjata artileri berat di sepanjang akhir pekan lalu, kabar RIA Novotsi. Serangan itu melumpuhkan infrastruktur kelistrikan dan pasokan bahan bakar gas.
Sebaliknya Kementerian Pertahanan Azerbaijan menuduh Armenia menyerang kota Tartar, Barda dan Beylagan di perbatasan. Bahkan Ganja, kota kedua terbesar di Azerbaijan yang terletak jauh di luar zona konflik, juga ikut dihujani bom, tuduh pejabat kemenhan.
PBB mendesak kedua negara untuk kembali ke meja perundingan yang disponsori Rusia, Prancis dan Amerika Serikat. Pertemuan Grup Minsk itu digelar oleh Organisasi Kerjasama Keamanan OSCE sejak 1992 untuk mencari solusi atas situasi di Nagorno-Karabakh.
rzn/hp (rtr, ap, afp)