REPUBLIKA.CO.ID, Wacana untuk membangkitkan kewaspadaan khusus orang-orang Barat terhadap Islam tampak jelas dalam buku Bernard Lewis 'The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (2004)'.
Sebagai bagian dari skenario kelompok neo-konservatif, yang antara lain terdiri atas kelompok Kristen fundamentalis dan kelompok Yahudi sayap kanan, upaya membangkitkan kebencian lama Barat terhadap Islam bisa memiliki sejumlah tujuan:
(1) sebagai bagian dari upaya untuk menyatukan Eropa (juga masyarakat Barat) kembali sebagai satu kekuatan Kristen sebagaimana terjadi dalam Perang Salib yang dimulai pada 1095, dan (2) upaya mengalihkan dukungan masyarakat Eropa terhadap perjuangan Palestina, (3) kepentingan dukungan politik dalam negeri negara tertentu.
Hingga kini, di kalangan Kristen fundamentalis, istilah crusade (perang suci) masih sering digunakan. Tokoh Kristen fundamentalis Amerika terkemuka, Billy Graham, misalnya, menggunakan istilah evangelistic crusade terhadap misi Kristen-nya yang disebarkan ke 185 negara di dunia.
Presiden Amerika Serikat saat itu, George Bush bukanlah sedang terselip lidahnya ketika mengucapkan crusade against terrorism, karena kata itu memang akrab dengan lingkungannya.
Peristiwa Perang Salib menunjukkan, bahwa Eropa belum pernah bersatu, kecuali saat menghadapi Islam. Pada 1095 Paus Urbanus II berhasil menggalang kekuatan Kristen, melupakan perbedaan antara mereka, dan bersatu padu melawan kekuatan Islam.
Dalam pidatonya, Paus menyatakan, bangsa Turki (Muslim) adalah bangsa terkutuk dan jauh dari Tuhan. Maka, Paus menyerukan, "Membunuh monster tak bertuhan seperti itu adalah suatu tindakan suci; adalah suatu kewajiban Kristiani untuk memusnahkan bangsa jahat itu dari wilayah kita."
Skenario pengalihan dukungan masyarakat Barat terhadap Palestina juga sangat masuk akal, mengingat semakin menguatnya simpati dunia terhadap Palestina. Citra Israel dalam Perang di Lebanon sangat babak belur. Israel dan Amerika Serikat gagal menempatkan Hizbullah dan Hamas sebagai musuh dunia, khususnya dunia Islam. Dengan membangkitkan sentimen lama tentang Islam di masyarakat Eropa, maka upaya pembentukan negara Palestina merdeka bisa digagalkan, setidaknya terus diundur.
Perlu dicatat bahwa sejarah benturan Eropa-Islam memang berlangsung sangat panjang. Itu fakta sejarah. Islam memang satu-satunya peradaban dan kekuatan yang pernah menaklukkan Barat. Hingga kini, di Eropa dan kalangan Kristen Barat pada umumnya, sejarah lama itu begitu mudah digunakan untuk menimbulkan kebencian atau sentimen anti-Islam.
Di Amerika Serikat, serangan Jepang terhadap Pearl Harbour tidak menimbulkan sentimen anti-Jepang. Meskipun begitu banyak warga keturunan Hispanik yang melakukan aksi terorisme, tetapi tidak muncul gelombang anti-Hispanik di Amerika Serikat. Tetapi, begitu dalam peristiwa WTC 11 September 2001 dimunculkan wajah-wajah Arab sebagai pelakunya, maka terjadi gelombang sentimen anti-Islam.
Karena begitu mudahnya sentimen anti-Islam dibangkitkan, maka para politisi di Barat juga tidak jarang menggunakan isu sentimen anti-Islam untuk meraih dukungan politik. Bukan hal yang sulit dibaca, bahwa dukungan rakyat Amerika Serikat terhadap George W Bush sangatlah kecil. Tetapi, setelah petistiwa 11 September itu, dukungan terhadap Bush melonjak tajam.
*Naskah cuplikan artikel Dr Adian Husaini yang tayang di Harian Republika pada 2006.