REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo memberi penjelasan mengenai bagaimana Islam memandang aksi demonstrasi. Dia memaparkan, di dalam Alquran maupun hadits, memang tidak ada yang mengulas aksi unjuk rasa secara tekstual.
Huzaemah melanjutkan, di zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat Khulafaur Rasyidin, pun tidak ada aksi unjuk rasa yang beramai-ramai turun ke jalan. Termasuk, imam dari empat mazhab populer juga tidak memberi ulasan soal demonstrasi karena tidak terjadi di zaman itu.
Namun, Huzaemah menerangkan, semua ulama dari dulu sampai sekarang menganjurkan untuk berbuat amar ma'ruf nahi mungkar (mengajak berbuat baik dan menjauhi larangan Allah SWT). "Jadi amar ma'ruf nahi munkar ini berbeda-beda penerapannya, sesuai dengan kondisi zaman," terangnya kepada Republika, Ahad (11/10).
Menurut Huzaemah, aksi demonstrasi berkaitan dengan amar ma'ruf nahi munkar. "Ayat dan hadis tentang amar ma'ruf nahi munkar ini banyak. Menyampaikan pendapat atau saran itu sebagai amar ma'ruf. Jadi dasarnya pada amar ma'ruf nahi munkar," ucap Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) ini.
Karena itu, Huzaemah memandang, Islam membolehkan aksi demonstrasi selama tidak anarkis. Nabi Muhammad SAW, sebelum berperang, selalu berpesan kepada para Sahabat untuk tidak merusak tanaman ataupun pepohonan, dan tidak membunuh orang tua, perempuan maupun anak-anak.
"Itu kalau berperang, sekarang kita bukan berperang, tetapi menyampaikan hak-hak kita dan hak umum seperti UU Cipta Kerja yang diributkan itu. Di situ ada hak-hak kita terutama orang kecil, misalnya hak terkait pensiun dan sebagainya," tutur Guru Besar Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah itu.
Aksi demonstrasi merupakan tindakan wajar karena masyarakat hanya ingin menuntut haknya kepada pemerintah terkait suatu kebijakan yang dinilai merugikan mereka. "Mereka menyampaikan pendapat untuk mengingatkan pemerintah maupun DPR tentang apa yang menjadi haknya, jadi wajar mereka menyampaikan," ujarnya.