REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jusuf Kalla (JK) optimistis masalah konflik Papua dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian. JK pun berjanji akan membantu pemerintah menyelesaikan konflik di Papua melalui jalur perdamaian.
Hal tersebut disampaikan JK saat menjadi pembicara pada Focus Group Discussion II Lingstra Gathering Kementerian Pertahanan T.A 2020 di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Rabu (14/10). JK mengatakan, penyelesaian melalui jalur diplomasi sangat memungkinkan mengingat pengalaman Indonesia dalam menyelesaikan beberapa konflik besar.
"Selama Indonesia merdeka kita telah mengalami 15 kali konflik yang besar yang korbannya di atas 1000 Jiwa. Dari 15 konflik tersebut 13 kita selesaikan melalui operasi militer dan sisanya melalui jalur perdamaian," ujar JK dalam keterangan yang diterima, Rabu (14/10).
JK mencontohkan jalur diplomasi berhasil menyelesaikan konflik Aceh yang berlangsung puluhan tahun pun. Karena itu, itu juga memungkinkan untuk Papua, meski dengan pendekatan berbeda.
"Yang saya garis bawahi, Aceh saja yang keras begitu bisa kita ajak berunding untuk damai," katanya.
JK menjelaskan untuk menyelesaikan konflik papua pendekatannya agak sedikit berbeda dengan Aceh. Itu karena ada banyak faksi yang terdapat pada gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sementara pada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hanya ada satu garis komando.
Ia mengatakan, kalau di Aceh karena satu garis komando, begitu diselesaikan di level atas maka di bawah pasti akan patuh. Hal ini berbeda halnya dengan kelompok bersenjata di Papua, yang terdapat banyak faksi.
"Antara satu kabupaten atau kampung lainnya tidak terhubung garis komando. Namun demikian bukan berarti itu tidak bisa diselesaikan itu ada caranya," katanya.
Namun demikian JK menolak untuk membeberkan secara terbuka mengenai pendekatan apa yang digunakan untuk menyelesaikan konflik di Papua melalui jalan damai.
Ketua umum PMI itu menekankan dalam upaya mendamaikan pihak yang bertikai prinsip yang harus dipegang adalah win-win solution dan dignity for all. Karena itu, dalam hal ini tidak boleh ada pihak yang merasa kalah dan dilecehkan martabatnya.
"Misalnya pada saat upaya damai Aceh, pihak GAM tidak pernah menyerahkan senjatanya ke pihak pemerintah namun mereka potong sendiri menjadi dua bagian. Itu adalah upaya menjaga martabat pihak GAM," katanya.