REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha, mengatakan tidak akan mundur setelah puluhan ribu pengunjuk rasa anti-pemerintah mendesaknya melepaskan jabatan tersebut selama berbulan-bulan, Jumat (16/10). PM memperingatkan demonstran agar tak bertahan melakukan unjuk rasa yang telah dilarang.
"Saya tidak akan berhenti," kata Prayuth kepada wartawan setelah rapat kabinet darurat.
Para pengunjuk rasa ingin mencopot Prayuth dari jabatan yang diambil alih dalam kudeta 2014. Mereka juga menginginkan konstitusi baru untuk menggantikan yang dirancang di bawah pemerintahan militer.
Seruan juga digemakan untuk reformasi monarki. Sistem yang dijalankan oleh Raja Maha Vajiralongkorn saat ini dinilai membantu memperkuat pengaruh militer selama beberapa dekade dalam politik.
Atas desakan dan demonstrasi yang berlarut-larut, pemerintah pun memberlakukan larangan pertemuan lebih dari lima orang pada Kamis (15/10). Para pengunjuk rasa menentang larangan tersebut dan menggelar salah satu demonstrasi terbesar di Bangkok pada Kamis malam.
“Pemerintah harus menggunakan peraturan darurat. Kami harus melanjutkan karena situasinya menjadi kekerasan ... Ini digunakan selama 30 hari, atau kurang jika situasinya mereda," kata Prayuth.
Prayuth memperingatkan orang-orang untuk tidak melanggar tindakan darurat. "Tunggu dan lihat saja ... Jika Anda melakukan kesalahan, kami akan menggunakan hukum," ujarnya..
Protes yang dilakukan selama tiga bulan oleh demonstran sebagian besar berlangsung damai. Namun, satu insiden khusus yang dijadikan alasan oleh pemerintah untuk pemberlakuan tindakan darurat saat iring-iringan mobil Ratu Suthida diejek oleh pengunjuk rasa.