REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Alquran dan hadits adalah dua perkara yang menjadi pedoman bagi umat Muslim. Jika Alquran adalah perkataan Allah, maka hadits adalah penjelasan yang disampaikan Nabi Muhammad Saw. Lantas jika itu penjelasan, mengapa tak Nabi tuliskan sendiri saja hadits tersebut?
Sebagaimana diketahui, penulisan hadits terjadi di masa-masa sepeninggal Rasulullah Saw. Ketika Nabi mewasiatkan Alquran dan perkara yang selama kita berpegang pada keduanya, maka manusia tidak akan tersesat. Namun demikian, banyak orang mengira bahwa kedudukan Alquran dan hadits itu sejajar, padahal meski sama-sama sebagai sumber ajaran Islam, namun keduanya memiliki beberapa perbedaan dan tidaklah sejajar.
Dalam buku Hadits Shahih tidak Harus Selalu Diamalkan karya Ustaz Ahmad Sarwat dijelaskan bahwa di masa Nabi, beliau melarang umatnya untuk menuliskan hadits-hadits tentang beliau. Hal itu dimaksudkan agar tak terjadi iltibas (tercampurnya antara Alquran dengan hadits).
Sebab tiap kali ayat Alquran turun, Nabi Muhammad SAW menugaskan beberapa orang untuk menulis wahyu secara khusus. Seperti Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan lainnya. Namun, untuk hadits memang tidak ada pencatatan sama sekali.
Oleh karena itu hadis-hadis itu sampai kepada umat Islam hingga saat ini melalui jalur hafalan dan bukan tulisan. Barangkali itu pula sebabnya para ulama ahli hadis kemudian digelari dengan al-hafizh yang berarti penghafal hadis.