REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA— Surabaya Coruption Watch Indonesia (SCWI) mengingatkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk tetap netral dan tidak terlibat dalam (Pemilihan Wali Kota) Pilwakot Surabaya 2020.
Namun sayangnya, menurut Koordinator SCWI, Hari Cipto Wiyono, Risma dinilai tidak netral sebagai kepala daerah. Bahkan dia menyebut ada kecenderungan dan indikator Risma memenangkan Eri Cahyadi-Armuji dalam Pilwali Surabaya 2020.
"Bu Risma tidak netral dan menggunakan kekuasaannya agar Eri menang, dan juga menghalalkan semuanya untuk memenangkan Eri," ujarnya, kepada wartawan di Surabaya, Selasa (20/10).
Hari menyebut, dana Rp 1 miliar dengan dalih program pembangunan dari Musrembang yang peruntukkannya tidak jelas bukti penggerakkan RT/RW.
“Di tempat saya dan tempat sekretaris saya di Keputih digelontor Rp1 miliar, tapi peruntukannya untuk apa nggak jelas, tapi katanya itu Program Musrembang," ujar dia.
Dia menyayangkan sikap Risma tersebut dan mengingatkan Wali Kota Surabaya perempuan pertama itu, meski memiliki jago dalam Pilwali Surabaya, bisa bertarung secara demokratis.
SCWI, kata Hari, akan melakukan identifikasi dan pengumpulan bukti. Jika nanti ditemukan pelanggaran, makan SCWI akan melapor ke Kejati Jatim. "Kejati harus independen meski sudah dikasih rumdis oleh Risma di Jalan Ngagel, nggak boleh ewu pakewuh," ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi A DPRD Surabaya Arif Fathoni menambahkan, Risma memang sudah tidak netral. Dari awal Risma sudah larut dalam kontestasi Pilwali Surabaya dan sangat berpihak.
"Dari awal berharap Bu Risma bersikap sebagai negarawan, tidak terlalu larut dalam kontestasi, tapi sudah berpihak dari awal. Sejak awal kami mengingatkan Bu Risma mau meninggalkan legacy apa," ujarnya.
Toni, sapaannya, menyebut banyak indikator Risma tidak netral. Salah satunya pencairan dana kampung tangguh di momen kampanye Pilwali Surabaya, padahal Covid-19 sudah melandai.
Di saat kampung tangguh butuh pembiayaan, Pemkot tidak responsif, akhirnya partisipasi warga meningkat, mereka urunan sendiri untuk membiayai kegiatannya, padahal ada SK dari camat.
Justru memasuki tahapan kapanye, anggaran itu diberikan, padahal Covid-19 melandai, artinya urgensi anggaran itu sudah tidak relevan kalau itu tujuannya kemanusiaan. .
Selain itu, di saat masyarakat Surabaya kelaparan akibat Covid-19 sekitar April, DPRD Surabaya sudah menyetujui refocusing dan realokasi anggaran.
Ada anggaran sebesar Rp164 miliar yang bisa diperuntukkan kepada 260 ribu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sayangnya, anggaran itu tidak pernah direalisasikan. “Dalam waktu dekat anggaran itu direalisasikan, berarti tujuan itu bukan murni kemanusiaan," kata dia,
Tidak hanya itu, kata Toni, penggunaan dana kelurahan di beberapa tempat yang tidak sesuai dengan hasil Musrembang 2019 menjadi sekian contoh Risma menggunakan instrumen kekuasaan dalam Pilwali 2020 ini.
"Termasuk penertiban APK, disitu ada inkonsistensi, APK palson 2 ditertibkan sementara Paslon 1 tidak, tidak mungkin sekelas Kasatpol PP punya inisiatif begitu," ujaranya.
Toni mengingatakn, dengan keberpihakan itu akan membuat masyarakat tidak berempati kepada Risma dengan segala pencapaiannya selama sembilan tahun menjadi wali kota.
"Percayalah di atas ilmu itu ada adab. Nanti masyarakat yang akan menilai, bahwa Risma itu sebagai negarawan atau politisi tulen, biar terang benderang, dibilang politisi kadang-kadang Bu Risma nggak mau," tutur dia.