Kamis 22 Oct 2020 19:10 WIB

Covid-19 Menyebar Cepat di Tengah Konflik Nagorno-Karabakh

Warga makin mudah terinfeksi Covid-19 di tengah konflik Nagorno-Karabakh

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Christiyaningsih
 Sebuah pecahan sistem rudal Grad terlihat setelah penembakan oleh artileri Azerbaijan selama konflik militer di kota garis depan Martakert, wilayah separatis Nagorno-Karabakh, Senin, 19 Oktober 2020. Penembakan baru telah dilaporkan dalam pertempuran antara Armenia dan Azerbaijan, melanggar gencatan senjata akhir pekan dalam konflik atas wilayah separatis Nagorno-Karabakh. Pertempuran berkecamuk selama lebih dari tiga minggu.
Foto: AP/STR
Sebuah pecahan sistem rudal Grad terlihat setelah penembakan oleh artileri Azerbaijan selama konflik militer di kota garis depan Martakert, wilayah separatis Nagorno-Karabakh, Senin, 19 Oktober 2020. Penembakan baru telah dilaporkan dalam pertempuran antara Armenia dan Azerbaijan, melanggar gencatan senjata akhir pekan dalam konflik atas wilayah separatis Nagorno-Karabakh. Pertempuran berkecamuk selama lebih dari tiga minggu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin menjadi ungkapan yang tepat bagi kedua pihak yang berkonflik di pegunungan Kaukasus Selatan. Baku tembak hingga saling ledak antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh memang menjadi masalah besar saat ini.

Namun pandemi Covid-19 di kedua pihak masih terus membayangi. Terlebih, ketika PM dan Menkes mereka sempat terkena gejala sesak, demam, hingga radang paru dan dinyatakan positif meski masih memaksa untuk bekerja.

Baca Juga

Bukan hanya elite, rakyat biasa mendapat efek yang lebih luas. Sebab, mereka yang sakit diketahui berlindung di ruang bawah tanah bersama ‘yang masih sehat’. Bahkan, dokter yang terinfeksi juga masih melakukan pembedahan luka pada korban konflik.

“Kami hanya tidak punya waktu untuk memikirkan tentang virus corona,” kata Irina Musaelyan, seorang penduduk ibu kota daerah Stepanakert yang berlindung di ruang bawah tanah bersama tetangganya mengutip The Globe and Mail, Rabu (21/10).

Konflik lanjutan 26 tahun lalu ini telah gagal dalam dua kali upaya gencatan senjata. Tak hanya itu, korban jiwa penduduk sipil juga telah mencapai ratusan orang sejak pertempuran dimulai pada akhir September lalu.

Buntut masalah belum tampak tapi Covid-19 semakin menyebar. Berdasarkan informasi, sumber daya untuk menahan virus di bunker yang penuh sesak antara yang sehat dan terinfeksi juga semakin tipis. Utamanya, ketika surveilans kontak terhenti.

Hal itu menyulitkan petugas kesehatan di wilayah setempat. “Hampir semua orang terinfeksi. Beberapa mengidapnya dalam bentuk ringan dan yang lain dalam bentuk yang lebih serius, ” kata Malvina Badalyan, kepala klinik penyakit menular di Stepanakert mengatakan tentang petugas kesehatan di wilayah itu.

Namun di tengah perang, korban luka terus membanjiri rumah sakit dan tidak ada yang bisa dilakukan selain tetap bekerja. “Banyak dokter dan perawat tahu bahwa mereka terinfeksi, tetapi mereka tetap bungkam. Mereka mungkin berbaring di pojok untuk menurunkan demam, lalu bangun dan melanjutkan operasi,” kata Ararat Ohanjanyan, Menteri Kesehatan untuk pemerintah daerah Nagorno-Karabakh.

Menurutnya, dalam situasi saat ini tidak ada yang bisa menghindar dari tanggung jawab. Terlebih menurut Ohanjanyan, ketika eskalasi pertempuran baru dimulai petugas medis semakin tidak punya waktu atau sumber daya untuk menangani wabah tersebut.

Lebih dari sepekan yang lalu dirinya juga dinyatakan positif Covid-19. Namun ia masih memaksakan bekerja meski gejala demam dan radang paru dirasakan.

"Kami tidak punya waktu untuk melacak mereka yang terinfeksi sementara Stepanakert mendapat serangan berat dan itu memungkinkan penularan menyebar," katanya.

Ohanjanyan menambahkan saat ini pengujian dan isolasi rutin terhadap mereka yang terinfeksi telah dilanjutkan. Pasien dalam kondisi paling serius telah dikirim ke Armenia sementara yang lain dirawat di rumah sakit atau dirawat di rumah.

Meski demikian, pihaknya tak bisa memastikan berapa banyak hingga kini warga yang telah terinfeksi. Serupa dengan wilayahnya, Armenia yang mendukung wilayah separatis melalui koridor darat, juga mengalami peningkatan tajam kasus dalam beberapa pekan terakhir.

Rata-rata infeksi baru setiap hari selama tujuh hari berturut-turut telah meningkat hampir tiga kali lipat sejak awal Oktober menjadi 44 per 100 ribu orang pada 20 Oktober.

“Orang-orang bisa terinfeksi, tapi kami akan menjalaninya. Yang terpenting adalah tidak ada perang,” ungkap Arevik Israelyan ketika mengunjungi suaminya yang terkena virus di klinik.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement