REPUBLIKA.CO.ID -- Beginilah tuntuan PP Muhammadiyah kepada warganya di dalam menghadapi kehidupan selama pandemi Covid-19. Tuntutan ini berasal dari panduan 'Edaran Tentang Tuntutan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19. Aturan yang ada di dalamnya mengaci pada Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat.
Edaran yang dilansir dari Majalah Suara Muhammadiya milik PP Muhammadiyah itu begini isinya:
Wabah Covid-19 adalah salah satu musibah yang merupakan ujian dari Allah atas dasar sifat Rahman dan Rahim Allah, sehingga umat Islam harus menghadapinya dengan sabar, tawakal, dan ikhtiar.
Dalam rangka menghindari dampak buruk berkembangnya covid-19 harus diperhatikan berbagai petunjuk dan protokol yang telah ditentukan oleh pihak berwenang, termasuk melakukan perenggangan sosial (at-tabāʻud al-ijtimāʻī/ social distancing) maupun upaya stay at home atau work from home sebagai tindakan preventif, dengan tetap memperhatikan produktifitas kerja.
Shalat
Dalam kondisi tersebarnya Covid-19 seperti sekarang dan yang mengharuskan perenggangan sosial (at-tabāʻud al-ijtimāʻī / social distancing), shalat lima waktu dilaksanakan di rumah masing-masing dan tidak perlu dilaksanakan di masjid, musala, dan sejenisnya yang melibatkan konsentrasi banyak orang, agar terhindar dari mudarat penularan Covid-19.
Adapun orang yang karena profesinya dituntut untuk berada di luar rumah, maka pelaksanaan shalatnya tetap memperhatikan jarak aman dan kebersihan sesuai dengan protokol kesehatan. Hal ini karena shalat wajib dilaksanakan dalam setiap keadaan, di samping harus menghindari sumber-sumber kemudaratan sebagai diingatkan dalam hadis yang telah dikutip di atas yang menyatakan, “Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan.”
Apabila keadaan amat menuntut karena tugasnya yang mengharuskan bekerja terus menerus memberikan layanan medis yang sangat mendesak, petugas kesehatan dapat menjamak shalatnya (tetapi tidak mengqasar apabila tidak musafir)
Shalat Jumat diganti dengan shalat Zuhur (empat rakaat) di rumah masing-masing. Hal ini didasarkan kepada keadaan masyaqqah dan juga didasarkan kepada ketentuan dalam hadis berikut bahwa shalat Jumat adalah kewajiban pokok, dan mafhumnya shalat Zuhur adalah kewajiban pengganti (Ini juga adalah kaul jadid Imam asy-Syāfiʻī). Dalam kaidah fikih dinyatakan, Apabila yang pokok tidak dapat dilaksanakan, maka beralih kepada pengganti [Syarḥ Manẓūmat al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah].
Adzan
Azan sebagai penanda masuknya waktu salat tetap dikumandangkan pada setiap awal waktu salat wajib dengan mengganti kalimat “ḥayya ‘alaṣ-ṣalah” dengan “ṣallū fī riḥālikum” atau lainnya sesuai dengan tuntunan syariat.
Puasa
Apabila kondisi mewabahnya Covid-19 hingga bulan Ramadan dan Syawal mendatang tidak mengalami penurunan, maka:
Zakat, Infak, Sedekah
Memperbanyak zakat, infak dan sedekah serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19.
Menggalakkan sikap berbuat baik (ihsan) dan saling menolong (taawun) di antara warga masyarakat, terutama kepada kelompok rentan, misalnya berbagi masker, hand sanitizer, atau mencukupi kebutuhan pokok dari keluarga yang terdampak secara langsung dan tidak melakukan panic buying (pembelian barang karena panik/ penimbunan barang berdasarkan rasa takut).
Perawatan Jenazah
Perawatan jenazah pasien Covid-19 sejak meninggal dunia sampai dikuburkan, dilakukan sesuai dengan standar protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.
Apabila dipandang darurat dan mendesak, jenazah dapat dimakamkan tanpa dimandikan dan dikafani, dalam rangka menghindarkan tenaga penyelenggara jenazah dari paparan Covid-19 dengan pertimbangan asas-asas hukum syariah bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sejauh yang mampu dilakukannya, apa yang diperintahkan Nabi saw dilaksanakan sesuai dengan kemampuan, tidak ada kemudaratan dan pemudaratan, kemudaratan harus dihilangkan, kesulitan memberikan kemudahan, keadaan mendesak dipersamakan dengan keadaan darurat, dan kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya, dan mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat.
Kewajiban memandikan dan mengafani jenazah adalah hukum kondisi normal, sedangkan dalam kondisi tidak normal dapat diberlakukan hukum darurat. Berikut ini dalil-dalil yang menjadi pegangan:
Pertama, Allah tidak membebani seseorang melainkan sejauh yang mampu dilakukannya (QS. Al-Baqarah [2]: 282),
Kedua, hadis dari Abū Hurairah, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: … dan jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakanlah sejauh kemampuanmu (Hadis muttafaq ‘alaih)
Ketiga, tidak boleh berbuat mudarat dan menimbulkan mudarat.
Keempat, kemudaratan harus dihilangkan.
Kelima, kesukaran dapat mendatangkan kemudahan
Keenam, Keadaan mendesak dapat dipersamakan dengan keadaan darurat, baik keadaan mendesak itu bersifat umum maupun khusus.
Ketujuh, kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya.
Kedelapan, mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat.
Penyelenggaraan salat jenazah dapat diganti dengan salat gaib di rumah masing-masing. Adapun kegiatan takziah dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan hal-hal yang terkait penanggulangan Covid-19 atau dilakukan secara daring.
Pernikahan
Penyelenggaraan akad nikah dilakukan sesuai dengan standar protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang,
Ini misalnya mengacu pada Surat Edaran Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor P002/DJ.III/Hk.00.7/032020 tentang Imbaun dan Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid-19 pada Area Publik di Lingkungan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia E.3 Protokol Pencegahan Penyebaran Covid-19 pada Layanan Nikah di KUA. Adapun acara resepsi atau walimah dapat diselenggarakan setelah kondisi normal.
Dianjurkan banyak istigfar, bertaubat, berdoa kepada Allah, membaca al-Quran, berzikir, bersalawat atas Nabi, dan kunut nazilah secara individu serta dengan keyakinan dan berbaik sangka akan ketetapan Allah, semoga Covid-19 segera diangkat oleh Allah swt.