Rabu 28 Oct 2020 22:49 WIB

Mengejar Ketertinggalan Testing Covid-19 di Indonesia

Testing Covid-19 di Indonesia masih belum memenuhi standar WHO

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Elba Damhuri
Warga melakukan tes usap atau swab di Lab Gemonik Solidaritas Indonesia (GSI), Cilandak, Jakarta, Senin (19/10). Pemprov DKI Jakarta bersama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) masih menyusun rancangan peraturan daerah terkait penanganan Covid-19 dengan ketentuan akan memberlakukan denda bagi warga yang menolak melakukan tes usap dan tes cepat mencapai Rp5 Juta. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga melakukan tes usap atau swab di Lab Gemonik Solidaritas Indonesia (GSI), Cilandak, Jakarta, Senin (19/10). Pemprov DKI Jakarta bersama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) masih menyusun rancangan peraturan daerah terkait penanganan Covid-19 dengan ketentuan akan memberlakukan denda bagi warga yang menolak melakukan tes usap dan tes cepat mencapai Rp5 Juta. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Rizky Suryarandika

WHO menetapkan standar pemeriksaan 1 orang tiap 1.000 penduduk per pekan. Dengan asumsi Indonesia memiliki 267 juta penduduk, maka target pemeriksaan seharusnya mencapai 267 ribu orang per pekan.

Jika kemampuan testing Indonesia dengan rata-rata 30 ribu orang per hari maka dalam sepekan menghasilkan jumlah testing 231 ribu orang. Dengan demikian, kondisi testing Covid-19 di Indonesia belum memenuhi standar WHO.

Mirisnya lagi, Indonesia mengalami penurunan testing di bawah angka 20 ribu pada dua hari berturut-turut, yakni pada Ahad (25/10) lalu dengan jumlah 18.992 orang per hari, dan Senin (26/10) tercatat 19.038 orang per hari. Adapun rata-rata jumlah testing sebelumnya mencapai rata-rata dari 22 ribu hingga 33 ribu kasus.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengakui kapasitas pengendalian Covid-19 belum optimal di Tanah Air. Bahkan, menurutnya, perjalanan gelombang pandemi yang pertama saja belum selesai di Indonesia karena penderita Covid-19 masih naik trennya. Tak menutup kemungkinan, gelombang pandemi terus berlanjut jika tak ada perubahan kebijakan penanganannya. 

Pandu menyoroti salah satu akar permasalahan ialah kemampuan testing masih bervariasi, sebagian hasil tes cenderung lambat. Hal ini membuat penderita terlanjur menularkan virusnya karena mobilitasnya tinggi. Sebagai ahli wabah, Pandu sendiri mengalami kesulitan membuat kurva pandemi dengan baik karena rendahnya kualitas testing. Padahal kurva ini dibutuhkan untuk lakukan prediksi penanganan Covid-19. 

"Salah fokus pada rumah sakit (perawatan), harusnya fokus testing untuk mengecek orang karena mayoritas OTG (Orang Tanpa Gejala). Kalau ke rumah sakit bisa saja sudah terlambat. Semua daerah di Indonesia ada keterlambatan testing selalu jeda dari pengambilan sampel, pengecekan sampel sampai hasilnya keluar," kata Pandu dalam Webinar pada Rabu (28/10).

Pandu menekankan perlunya inovasi testing agar memperoleh hasil lebih cepat dan akurat. Selama ini ia memandang rapid test antibodi cenderung tidak efektif karena sering tidak akurat hasilnya. 

Rapid test antibodi mengecek antibodi dalam diri seseorang, jika pembentukan antibodi dalam diri seseorang lambat maka hasil tesnya non reaktif. Padahal bisa saja seseorang itu sudah terjangkit Covid-19.Tes semacam itu contohnya diwajibkan bagi penumpang kereta jarak jauh dan pesawat udara sebelum berangkat ke tujuan. 

Sebagai gambaran rapid test antibodi ialah mendeteksi virus Corona yang masuk ke dalam tubuh oleh sistem imunitas tubuh. Setelah antigen terdeteksi, sistem imun akan memproduksi antibodi untuk memusnahkannya. Keberadaan antibodi untuk membasmi virus Corona bisa dideteksi melalui rapid test antibodi. 

Rapid test antibodi merupakan pemeriksaan dengan tingkat akurasi paling rendah sekitar 18%, caranya menggunakan sampel darah yang diambil dari ujung jari atau pembuluh darah. Keunggulan tes ini hanya pada harganya yang relatif paling murah diantara semua jenis tes Covid-19.

Sedangkan rapid test antigen mekanisme kerjanya sampel lendir dari hidung atau tenggorokan diambil melalui proses swab. Untuk memberikan hasil yang lebih akurat, pemeriksaan rapid test antigen perlu dilakukan paling lambat 5 hari setelah munculnya gejala COVID-19.Virus Corona yang masuk ke dalam tubuh akan terdeteksi sebagai antigen oleh sistem imunitas. 

Antigen ini juga dapat dideteksi melalui pemeriksaan rapid test antigen. Beberapa penelitian menunjukkan pemeriksaan rapid test antigen memiliki tingkat akurasi lebih baik dibandingkan rapid test antibodi meksi masih belum seakurat tes PCR.

"Tes antibodi terlambat karena cek orang yang punya antibodi, kalau lama pembentukannya maka ketika ingin mengeceknya sering non reaktif padahal dia bawa virus. Terlanjur kuburu banyak sebarin virus ke orang lain," ujar Pandu.

Pandu menyayangkan masalah ini belum dibahas serius oleh stakeholders terkait. Ia khawatir rapid test antibodi yang tak efektif justru membuat pembawa virus berpergian kemana-mana lalu menularkan virusnya. Apalagi dalam waktu dekat ini ada momen libur panjang yang membuat sebagain orang berpergian. 

"Kalau mau tegas hentikan tes antibodi, pakai tes antigen karena sama cepatnya dan bisa deteksi lebih baik," sebut Pandu.

Atas dasar inilah, muncul inisiasi Gerakan Solidarita Sejuta Tes Antigen Untuk Indonesia oleh Gerakan Indonesia Kita (GITA) guna mempopulerkan penggunaan antigen sekaligus meningkatkan jumlah testing.

Ketua GITA Alif Iman Nurlambang mengajak masyarakat Indonesia menyumbangkan tenaga dan dana untuk menambah jumlah testing karena kebutuhannya mencapai jutaan unit. Peran serta masyarakat dianggap penting menopang pemerintah.

Pihak GITA tengah mendekati perusahaan penyedia antigen agar bisa menjual produknya dengan harga terjangkau. Nantinya uang hasil donasi akan dibelikan alat tes antigen sebanyak mungkin. Alif mengatakan GITA terbuka bagi perusahaan mana saja yang ingin bekerjasama menyediakan antigen. Syaratnya produk antigen perusahaan tersebut masuk kategori murah, akurat, punya izin edar dan sesuai standar WHO.

"Syarat hadapi pandemi dengan testing diperkuat, ini saatnya kita buat ini terwujud. Sebab selalu kabarnya Indonesia lemah dalam testing, di bawah standar WHO. Misal ini hanya dibebankan pada satgas Covid-19 maka tidak bakal bisa terkejar. Testing itu harus jadi upaya yang dijalankan semua pihak," ujar Alif.

Kepala BNPB sekaligus Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Doni Monardo, mengapresiasi semangat GITA untuk merangkul sebanyak mungin dukungan publik dalam menambah penyediaan testing. Doni mendukung gerakan tersebut sebagai solidaritas bersama melewati krisis pandemi ini. Doni menyebut Indonesia sudah bisa memproduksi rapid test antigen untuk dimanfaatkan bagi masyarakat sehingga tak perlu bergantung dari impor.

"Gerakan ini ajak siapa saja untuk ganti biaya produksi dan disalurkan gratis ke masyarakat yang membutuhkannya. Harapannya muncul produsen-produsen yang punya komitmen sama untuk tambah testing Covid-19, semoga makin banyak pihak yang berpartisipasi," kata Doni. 

Penderita Covid-19 di Tanah Air meningkat 3.520 kasus per Selasa (27/10) hingga total sementaranya menjadi sekitar 396 orang. Sedangkan kasus meninggal karena Covid-19 bertambah 101 orang menjadi total sementaranya 13.512. Adapun penderita Covid-19 yang sudah sembuh sebanyak 322 ribu orang. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement