REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh me nilai, penghinaan pada simbol agama seperti memuat karikatur Nabi Muhammad yang dilakukan Charlie Hebdo dengan dalih kebebasan berekspresi tidak dapat dibenarkan. Menurut Nuh, meski kebebasan pers sangat penting, tapi harus tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Nuh menegaskan, pers Indonesia tidak mengenal kemerdekaan sebebas-bebasnya tanpa ada batas. Menurut dia, kemerdekaan pers penting, tetapi harus dibingkai oleh kode etik jurnalistik. Dalam kode etik jurnalistik itu ada hal yang tidak boleh dilampaui, termasuk penghinaan baik kepada orang per orang, apalagi terhadap simbol-simbol aga ma. "Seperti Charlie Hebdo dan lainnya. Ti dak mungkin kita hidup tanpa ada saling meng hormati dan menghargai," kata Nuh.
Di balik konten-konten media yang menghina simbol-simbol Islam, dia menilai, ter dapat pihak-pihak yang memiliki pandangan anti-Islam. Mereka menggunakan media un tuk menyalurkan pemikiran dan cara pan dang yang sejatinya keliru terhadap Islam. Di samping itu, Nuh mengungkapkan, muncul nya konten-konten tersebut bisa jadi bagian dari strategi bisnis. "Dari isu sensitif itulah nan ti muncul pembaca, publik respons. Bererti media itu dapat iklan. Media itu kan baru dapat makna kalau ada pembaca yang me respons," kata dia.
Nuh menilai, apa yang dilakukan seperti oleh Charlie Hebdo kemungkinan tidak terjadi di Indonesia. Menurut dia, apabila ada media di Tanah Air yang melakukan peng hi naan terhadap simbol-simbol agama, terlebih Islam, maka terancam akan gulung tikar ka rena ditinggal pembaca dan menurunnya iklan. "Itu bunuh diri bagi media kalau me la kukan penghinaan terhadap simbol agama," ujar dia.