REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai kasus raibnya dana nasabah PT Bank Maybank Indonesia Tbk senilai Rp 22 triliun tidak bisa dijadikan ukuran lemahnya pengawasan bank oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab kejadian ini lebih bersifat kejahatan bank yang dilakukan oleh oknum bank.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan informasi yang menyebutkan kepala cabang memegang buku tabungan nasabah merupakan hal yang tidak wajar dan melanggar prosedur.
“Kejadian ini lebih bersifat fraud, adanya pencurian bukan berarti polisi tidak bekerja efektif,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (12/11).
Menurutnya informasi yang juga menyebutkan nasabah tidak pernah melakukan pengecekan rekening selama lima tahun merupakan hal tidak wajar. Kedua hal inilah yang membuka peluang terjadinya pembobolan dana nasabah.
“Jadi bukan karena pengawasan OJK yang lemah,” ucapnya.
Piter menyebut nantinya uang nasabah yang hilang bisa kembali hanya bergantung fakta-fakta yang muncul. Sepanjang fakta tersebut bisa membuktikan uang milik nasabah dan kesalahan sepenuhnya ada pada pihak bank.
“Maka sangat terbuka peluang uang nasabah kembali. Bank harus bertanggung jawab atas kelalaian mereka, sehingga terjadi pembobolan yang dilakukan pegawai,” ucapnya.
Ke depan, pihaknya meminta masyarakat dapat memahami bisnis dan prosedur setiap perbankan. Hal ini untuk menghindari kejadian-kejadian yang bisa merugikan, setidaknya bisa mendeteksi lebih awal apabila terjadi hal yang mencurigakan.
“Kalau ada yang mencurigakan, melanggar prosedur bank, nasabah harus berani untuk segera melaporkan pada jalur yang tepat misal ke kantor pusat bank, ke OJK,” ucapnya.