REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Arif Satrio Nugroho
Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Rabu (18/11), menunda pengambilan keputusan harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Hal tersebut lantaran Fraksi Partai Nasdem belum tegas bersikap terkait RUU Ketahanan Keluarga.
"Maka pengambilan keputusan terhadap pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi ruu tentang ketahanan keluarga pengambilan keputusannya ditunda tidak dilakukan hari ini, setuju ya?," kata Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi, Rabu (18/11).
Dalam rapat tersebut sebanyak empat fraksi mendukung agar RUU Ketahanan Keluarga dilanjutkan untuk dibahas di DPR. Empat Fraksi tersebut yaitu Fraksi Gerindra, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kemudian empat fraksi lainnya seperti Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai Demokrat menyatakan tidak setuju RUU tersebut dilanjutkan dibahas. Sementara satu fraksi yaitu Fraksi Partai Nasdem masih meminta mendalami RUU tersebut.
"Fraksi Partai Nasdem menyatakan perlu pendalaman lagi atas materi, substansi RUU tentang Ketahanan Keluarga," kata Anggota Baleg Fraksi Ary Egahni Ben Bahat.
Sehari sebelumnya, sejumlah fraksi di DPR memberikan sejumlah catatan kritis terkait usulan RUU Ketahanan Keluarga. Anggota Baleg DPR Fraksi PKB, Neng Eem Marhamah Zulfa menganggap RUU Ketahanan Keluarga mubazir.
"Lebih baik kita membuat undang-undang yang berdampak bisa menyelesaikan masalah untuk masyarakat," kata Neng dalam rapat panja harmonisasi Baleg, Selasa (17/11).
Menurutnya, sudah ada banyak program yang mendukung kesejahteraan keluarga, di antaranya yaitu Program Keluarga Harapan (PKH) di Kementerian Sosial (Kemensos), Program Kespro, hingga Program BSPS untuk membangun rumah yang layak untuk keluarga. Oleh karena ia menganggap undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU-PKS) dinilai jauh lebih mendesak ketimbang RUU Ketahanan Keluarga.
"Kalau saya melihat, RUU Ketahanan Keluarga ini tidak, bukan belum ya, tidak urgen untuk kemudian disahkan, justru yang lebih urgen dan mendesak itu adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," ujarnya.
Anggota Baleg Fraksi PPP, Illiza Sa'adudin Djamal memberikan sejumlah masukan terkait RUU Ketahanan Keluarga. Menurutnya, pasal 3 huruf C dalam draf RUU Ketahanan Keluarga masih perlu dilakukan pendalaman.
"Untuk memastikan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam mendukung ketahanan keluarga secara aktif. Pemahaman kami kata 'memastikan' sebaiknya diganti dengan 'bersinergi', hal ini agar didapat kesepakatan dalam tiga komponen pengarusutamaan peran ketahanan keluarga, kemudian bagaimana masyarakat itu dapat berperan dalam mendukung ketahanan keluarga," jelasnya.
Anggota Baleg Fraksi Partai Golkar Ferdiansyah mengatakan, meskipun kajian terhadap RUU Ketahanan Keluarga sudah diperbaiki, masih ada beberapa hal yang terlewat. Pertama, pengusul diharapkan bisa mengevaluasi dan mengetahui secara mendalam apakah UU 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menjadi sandingan RUU Ketahanan Keluarga sudah berjalan efektif selama ini.
"Kalau pun tidak efektif, mengapa berjalnnya tidak efektif? Sehingga dasar inilah Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga akan muncul," ucapnya.
Selain itu, Ferdiansyah juga menyoroti soal implikasi yang berpotensi muncul ketika undang-undang tersebut dilaksanakan. Ia khawatir undang-undang tersebut justru memunculkan pembedaan antara keluarga satu dengan keluarga yang lain.
"Gambaran kami misalnya keluarga berkualitas, nanti ada pembedaan dong bahwa keluarganya Pak Willy (Wakil Ketua Baleg DPR) keluarga berkualitas, keluarga saya tidak keluarga berkualitas, kan itu. Ini yang harus kita antisipasi juga kan," katanya.
Kemudian Anggota Baleg Fraksi PDIP, Diah Pitaloka berpendapat, bahwa RUU Ketahanan Keluarga beda tipis dengan UU 52 Tahun 2009. Poin pembedanya ada pada Rencana Induk Pembangunan Ketahanan Keluarga (RI-PKK), dan pendidikan ketahanan keluarga.
"Intinya kalau saya lihat berbanding dengan UU 52 Tahun 2009 ini sama, kecuali Rencana Induk Pembangunan Ketahanan Keluarga dan bisa aja kalau menurut saya kalau bicara kerangka normatif, kita bikin aja program di BKKBN, ini kan udah ada undang-undang tentang BKKBN kemudian dipanjangkan lagi dengan adanya kebutuhan Rencana Induk Pembangunan Ketahanan Keluarga. Sebetulnya secara esensi sama," ungkapnya.
Politikus Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan mengatakan, pembentukan UU baru bukan solusi yang tepat. Sebab, kata dia, sudah ada UU yang mengatur keluarga, yaitu UU 52/2009.
"Pembentukan UU baru yang menyinggung secara detail ranah keluarga, selain menyinggu ranah privat, tapi juga menimbulkan tumpang tindih regulasi," kata dia.
Hinca menegaskan, Partai Demokrat berpandangan bahwa akan lebih baik jika DPR RI melakukan revisi dan penyempurnaan UU 52/2009. Termasuk di dalamnya, penguatan kelembagaan BKKBN dan dukung kreatifitas.
"Agar tujuan ketahanan keluarga bisa tercapai," kata dia menambahkan.
Fraksi Nasdem menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang belum menegaskan sikapnya, sebagaimana disampaikan perwakilan fraksinya Ary Egahni Ben Bahat.
"Fraksi Partai Nasdem menyatakan perlu pendalaman lagi atas materi, substansi, RUU KK. Pendapat mini begitu. Butuh kajian mendalam dengan disandingkan dengan UU Nomor 52 tahun 2009," ujar dia.
Atas adanya perbedaan pandangan tersebut, agenda rapat yang sedianya pengambilan keputusan atas harmonisasi RUU Ketahanan Keluarga akhirnya ditunda. Pimpinan rapat memberikan kesempatan kepada para pengusul melobi fraksi yang menolak.
Tanggapan pengusul
RUU Ketahanan Keluarga merupakan RUU usulan DPR yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. RUU tersebut diusulkan oleh sejumlah anggota diantaranya Netty Prasetiyani (PKS), Ledia Hanifa Amaliah (PKS), Sodiq Mudjahid (Gerindra), dan Ali Taher Parasong (PAN).
Sodiq Mudjahid menegaskan, bahwa RUU Ketahanan Keluarga tidak akan masuk ke dalam ranah privat keluarga. Sebagai bangsa Pancasila, Indonesia menjunjung tingi keberadaan keluarga. Oleh karena itu ia menilai wajar dalam menangani keluarga ada penguatan melalui undang-undang.
"Karena kita berdasarkan Pancasila, kita paham tidak akan masuk ke dalam wilayah-wilayah yang sangat private di keluarga itu," kata Sodiq dalam rapat panja harmonisasi RUU tentang Ketahanan Keluarga, Selasa, (17/11).
Politikus Partai Gerindra itu mempersilakan anggota lainnya untuk mendalami RUU tersebut terkait mana saja yang masih dianggap terlalu mengatur privasi. Ia memastikan, bahwa pengusul telah berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki adanya hal yang dianggap mengatur privasi keluarga terlalu jauh.
"Semua sekali lagi adalah untuk kesungguhan kita semua termasuk kesungguhan pemerintah di dalam membangun elemen dasar sebagai sebuah bangsa yakni unit keluarga," ujarnya.
Pengusul lainnya, Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga dibuat untuk mendorong pemerintah agar memiliki kebijakan yang lebih berpihak pada keluarga. Dirinya menepis adanya anggapan bahwa RUU tersebut untuk mengatur rumah tangga.
"Apakah kemudian akan menghancurkan tatanan sosial yang sudah ada, seperti kemarin disampaikan tentang keluarga besar, tentu bukan itu yang kita maksud kan, karena masing-masing memiliki supporting sosial sendiri," kata Ledia
Namun demikian, politikus PKS itu memandang tidak semua keluarga memiliki sistem pendukung yang memadai bagi tumbuh kembang keluarga. Masih banyak keluarga di Indonesia yang dibiarkan tumbuh kembang sendiri.
"Sementara implikasi dari pembangunan jika tidak memperhatikan ketahanan keluarga maka akan menimbulkan kerentanan di dalam keluarga sendiri," ujarnya.