REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Tidak bisa dibantah bahwa wajah Islam yang tidak menguntungkan sejauh ini sebagiannya merupakan cermin dari perilaku dan kondisi pemeluknya.
Jamaluddin al-Afghani pernah menyampaikan ucapannya yang terkenal bahwa "al-Islam mahjubun bil muslimin" (agama Islam terselubung oleh perilaku Muslim sendiri).
Bagi pengamat luar yang awam, cara paling mudah untuk menilai suatu keyakinan atau ideologi sehingga terbentuk sebuah citra tertentu adalah dengan memperhatikan perilaku dan kondisi pemeluknya. Padahal citra adalah persepsi tentang kebenaran yang belum tentu merepresentasikan kebenaran itu sendiri.
Namun dunia Islam saat ini, karena alasan-alasan historis pada beberapa abad terakhir yang bisa dimaklumi, memang banyak memberikan kesan negatif yang ada dalam benak non Muslim, seperti otoriter dan antidemokrasi, rendahnya martabat wanita, anti-Barat dan kemajuan, kecenderungan pada kekerasan, korup, serta miskin, dan terbelakang.
Di luar Indonesia, Bangladesh dan mungkin Iran dan Turki, tidak satu pun negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah yang mempraktikkan demokrasi.
Negara-negara itu dikendalikan oleh monarki absolut, atau diktator militer, atau presiden seumur hidup, atau rezim psudo-demokrasi ala Soeharto dan Sukarno. Penguasa otoriter yang opresif terhadap rakyatnya sendiri itu telah menciptakan citra negatif di kalangan masyarakat Barat dan sekaligus menguntungkan Israel yang selalu digambarkan sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah.
Padahal Islam jelas menentang penguasa otoriter dan dinasti turun temurun. Ironisnya, negeri Muslim yang otoriter itu sebagian besar menjalin hubungan baik dengan Barat dan bahkan kelangsungan rezimnya sangat bergantung kepada perlindungan Barat.
Diskriminasi jender sebagai citra lain Islam yang menempatkan wanita di bawah kekuasaan laki-laki belum sepenuhnya sirna. Padahal kita tahu bahwa negara modern yang disebut sebagai "kampiun demokrasi" seperti Amerika belum pernah memiliki presiden perempuan, sedangkan negeri Muslim seperti Indonesia, Turki, dan Pakistan umpamanya dipimpin dan pernah dipimpin kepala negara atau perdana menteri wanita. Namun harus diakui pula bahwa kesamaan jender ini masih menjadi masalah yang belum selesai di beberapa negara Muslim.
Arab Saudi, umpamanya, menutup profesi tertentu untuk wanita, bahkan tidak mengizinkan perempuan untuk mengendarai mobil sendiri. Pemerintahan Taliban di Afghanistan yang memperlakukan perempuan dengan semena-mena mendapatkan publisitas sangat luas di dunia.
Pengecualian-pengecualian seperti inilah yang terus menjadi berita dan menciptakan citra opresif terhadap perempuan di dunia Islam. Radikalisme dan fundamentalisme bukanlah monopoli Muslim. Di semua agama kita dapati ekstremisme sejenis. Bedanya, Islam radikal mendapat porsi terbesar pemberitaan dunia terutama sejak peristiwa 11 September.
Intensitas perkembangan geo-politik dunia seperti masalah Palestina yang tidak kunjung terselesaikan, konflik Indo-Pakistan di Kashmir dan perjuangan kemerdekaan di Chechnya serta serangan dan pendudukan Amerika Serikat di Irak, menambah rumitnya permasalahan dunia Islam.
Kesemuanya ini kemudian berimbas pada munculnya kelompok-kelompok garis keras ke permukaan yang menganggap adanya perlakuan tidak adil terhadap masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia.
Mereka tidak melihat jalan keluar dari berbagai masalah itu kecuali dengan perlawanan bersenjata. Kondisi ini diperkeruh dengan adanya globalisasi beserta dampak sampingannya berupa invasi budaya Barat sampai ke ruang-ruang pribadi di rumah si Muslim.
Kelompok radikal yang dalam perkembangannya lantas membentuk jaringan trans-nasional itu sebenarnya tidak pernah melibatkan mayoritas Muslim di negerinya. Namun karena vokal dan dampak aksinya sangat besar, tak urung merekalah yang mendapat porsi pemberitaan terbesar sebagai representasi Islam. Keterbelakangan dan kemiskinan yang merupakan akibat jangka panjang dari kolonialisme Barat di beberapa negara Muslim juga telah membentuk citra tersendiri.
Di satu sisi, kita kerap melihat pertunjukan kemiskinan dan wabah kelaparan di negeri-negeri Muslim seperti Sudan dan Bangladesh. Di sisi lain, beberapa negara kaya minyak di Timur Tengah lebih banyak membelanjakan uangnya untuk persenjataan dari pada untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Tingkat korupsi di Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia juga mempunyai andil yang tidak kecil dalam menciptakan wajah negatif dunia Islam. Kesemuanya ini membentuk citra Dunia Islam yang miskin, terbelakang, tapi sekaligus korup dan opresif.
*Naskah bagian dari artikel Abdillah Thoha yang tayang di Harian Republika 2003.