Kamis 19 Nov 2020 15:27 WIB

PM Thailand Ancam Demonstran

Pemerintah Thailand akan menggunakan semua perangkat UU untuk hadapi demonstran.

Rep: Dwina Agustin/Fergi/ Red: Teguh Firmansyah
 Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran pro-demokrasi di dekat Parlemen di Bangkok, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand bergeser ke Parlemen negara pada Selasa, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satu tuntutan inti. dari gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa.
Foto: AP/Sakchai Lalit
Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran pro-demokrasi di dekat Parlemen di Bangkok, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand bergeser ke Parlemen negara pada Selasa, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satu tuntutan inti. dari gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha, mengatakan semua undang-undang berkait akan digunakan untuk menanggapi pengunjuk rasa yang melanggar, Kamis (19/11). Ancaman ini muncul setelah demonstrasi meminta pemecatannya dan reformasi kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn terus meningkat.

"Pemerintah akan meningkatkan tindakannya dan menggunakan semua hukum, semua pasal, untuk mengambil tindakan terhadap pengunjuk rasa yang melanggar hukum," ujar Prayuth.

Baca Juga

Pengumuman Prayuth datang sehari setelah ribuan pengunjuk rasa melemparkan cat ke markas polisi Thailand sebagai tanggapan terhadap penggunaan meriam air dan gas air mata yang melukai puluhan orang pada Selasa (17/11).  Beberapa pengunjuk rasa juga menyemprotkan grafiti anti-monarki.

"Situasinya tidak membaik. Ada risiko eskalasi ke lebih banyak kekerasan. Jika tidak segera diatasi, maka dapat merusak negara dan monarki tercinta," kata Prayuth dalam sebuah pernyataan.

Prayuth tidak merinci peraturan yang akan digunakan untuk menekan massa yang turun ke jalan. Namun, dia bisa memanfaatkan Pasal 112 yang melarang penghinaan terhadap monarki, meski dia mengatakan awal tahun ini bahwa itu tidak digunakan untuk saat ini atas permintaan raja.

Aktivis menyuarakan keprihatinan atas ancaman yang dilontarkan oleh Prayuth. Ancaman ini bisa berarti dimulainya kembali penuntutan di bawah beberapa undang-undang penghinaan kerajaan yang paling keras dengan ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun.

Belasan pengunjuk rasa, termasuk banyak dari pemimpin paling terkemuka, telah ditangkap atas berbagai tuduhan dalam beberapa bulan terakhir, meskipun bukan karena mengkritik monarki.

"Ini bisa berarti mereka menggunakan Pasal 112 untuk menangkap para pemimpin protes. Apakah ini kompromi?" kata aktivis Tanawat Wongchai di Twitter.

Meskipun Istana Kerajaan belum mengomentari protes tersebut, Raja Thailand baru-baru ini menyebut negaranya sebagai tanah kompromi. Ungkapan ini telah mendapatkan cemoohan oleh para pengunjuk rasa.

Sebuah protes besar direncanakan akan digelar di Biro Properti Mahkota pada 25 November atas pengelolaan kekayaan istana yang telah diambil oleh raja dalam kendali pribadinya. Dana tersebut bernilai puluhan miliar dolar. Para pengunjuk rasa mengatakan akan ada demonstrasi tujuh hari lagi setelah itu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement