REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang sebelumnya mengkritik perusahaan farmasi Barat karena meminta dana awal pemesanan vaksin setuju membayar uang di muka untuk mengamankan jutaan dosis vaksin Covid-19.
Duterte juga memberikan persetujuan awal terhadap perintah eksekutif yang memungkinkan vaksin Covid-19, yang telah disetujui untuk penggunaan darurat di sejumlah negara, digunakan di Filipina.
"Kami setuju membayar di muka, karena jika tidak, kami mungkin akan menjadi negara terakhir yang mendapatkan vaksin," kata Juru Bicara Kepresidenan Harry Roque, Kamis (19/11).
Filipina berencana melakukan pengadaan awal vaksin Covid-19 sebanyak 50 juta dosis, demi menjamin paling tidak 25 persen populasi negara itu mendapat vaksinasi pada tahun depan. Carlito Galvez, mantan pemimpin satuan tugas penanganan pandemi di Filipina, menyebut pemerintah telah berbicara dengan sejumlah pengembang vaksin, antara lain Pfizer dan Moderna--dua pengembang vaksin asal Amerika Serikat.
Galvez mengatakan vaksin-vaksin itu akan mulai tiba pada Mei hingga Juli tahun depan, dengan pasokan jumlah besar pada akhir 2021 atau awal 2022. Pada Rabu (18/11), Pfizer menyebut dapat mengamankan izin penggunaan darurat di Amerika Serikat dan Eropa untuk vaksin Covid-19 mereka pada bulan depan.
Hasil uji klinis tahap akhir menunjukkan 95 persen kesuksesan tanpa efek samping serius. Sementara Moderna, Senin (16/11), merilis data awal hasil uji vaksin dengan efektifitas mencapai 94,5 persen. Sebelumnya, Duterte menyatakan ia cenderung memilih vaksin Covid-19 dari China atau Rusia untuk digunakan negaranya.
Otoritas Filipina juga tengah berupaya melakukan perjanjian vaksin secara bilateral dan multilateral, termasuk menjalin pendekatan dengan proyek vaksin global dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni COVAX. Duterte menyebut telah memiliki anggaran untuk membeli vaksin, namun ia menginginkan pasokan yang lebih besar demi dapat memvaksin semua warga Filipina.