REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, restrukturisasi kredit per 26 Oktober 2020 senilai Rp 932,6 triliun kepada 7,5 juta debitur. Adapun jumlah debitur yang direstrukturisasi, sebanyak 5,84 juta debitur merupakan UMKM dengan outstanding senilai Rp 369,8 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Heru Kristiyana mengatakan, permintaan restrukturisasi kredit kembali mengalami kenaikan meski sempat menunjukkan perlambatan.
“Walau secara nominal baki debet lebih rendah, namun mayoritas debitur restrukturisasi merupakan UMKM,” ujarnya kepada wartawan, Senin (23/11).
Secara perinci, akumulasi jumlah debitur restrukturisasi berasal dari non UMKM sebanyak 1,69 juta debitur atau setara 22 persen dari total debitur, sedangkan 78 persen sisanya berasal dari UMKM sebanyak 5,8 juta debitur. Adapun secara akumulasi baki debet restrukturisasi non UMKM senilai Rp 562,55 triliun atau setara 60 persen, sedangkan UMKM sebesar Rp 369,83 triliun atau 40 persen.
"Restrukturisasi kredit akan memberikan ruang yang lebih baik bagi nasabah dan bank untuk menata cash flow dan menata diri untuk menghadapi pandemi dengan tetap memenuhi kewajibannya kepada bank," katanya.
Adanya perpanjangan POJK 11/2020 sebagai antisipasi dampak Covid-19 berkelanjutan karena kasus Covid-19 masih terus bertambah. Dalam hal Covid-19 terus berlanjut dan POJK stimulus Covid-19 tidak diperpanjang, maka terdapat potensi kenaikan NPL dan CKPN yang dapat berdampak pada modal dan solvabilitas bank.
"Perpanjangan ini membuat sektor riil lebih percaya diri bahwa otoritas memberikan respon yang cukup cepat. Mereka yang membutuhkan waktu restrukturisasi karena akan berakhir Maret 2021, ada kepastian mereka tetap berusaha," katanya.
Ke depan otoritas berharap agar angka kenaikan permintaan restrukturisasi kredit bisa semakin melandai dan kondisi para debitur bisa membaik seiring dengan proyeksi perbaikan pertumbuhan ekonomi.