REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tiga gadis korban perdagangan manusia di Kenya berhasil diselamatkan oleh kepolisian setempat. Mereka diketahui menjadi sasaran predator seksual yang mencari mangsa secara daring.
Menurut keterangan polisi, mulanya korban tertarik dengan akun media sosial yang mengundang mereka “berpesta” di Ibu Kota Nairobi. Polisi menggambarkan ajakan ini sebagai bentuk cuci otak sekaligus jebakan, di mana para gadis dibodohi dengan makna dari “pesta” tersebut.
"Detektif sedang menyelidiki sindikat online yang membidik gadis-gadis usia sekolah menengah untuk berpesta,” ungkap Direktorat Investigasi Kriminal Kenya seperti dikutip dari The Sun pada Selasa (24/11).
Menurut polisi, predator kerap mengimingi calon korban dengan ketenaran dan uang, dua hal yang begitu menggiurkan. Berita itu tak ayal memicu kekhawatiran orang tua, sebab predator bisa membidik anak-anaknya via media sosial.
Karenanya polisi memperingatkan agar para orang tua bisa mengawasi kegiatan anaknya di media sosial. Utamanya selama pandemi Covid-19, durasi anak bermain gawai semakin lama. Polisi setempat juga memberikan peringatan keras kepada para predator yang telah memanfaatkan situasi pandemi untuk menjerat korban.
"Dengan ini kami mengeluarkan peringatan keras kepada mereka yang memanfaatkan pandemi untuk memangsa para gadis," kata polisi Kenya.
Laporan lain yang belum dikonfirmasi mengeklaim tujuh gadis lain telah menghilang tanpa jejak, setelah ditawari pekerjaan sebagai model. Awal pekan ini, melalui cicitan di Twitter, kerabat menaruh kecurigaan bahwa sang gadis telah diculik atau diperdagangkan.
"Sepupu saya bersama dengan gadis-gadis berusia 16 tahun, enam di antaranya, belum terlihat sejak itu," kata perempuan tersebut dalam sebuah video.
Perempuan itu juga merilis nomor telepon Amerika yang diyakini terkait dengan sepupunya yang hilang. Pengacara asal AS Matt Schneider juga memperingatkan bahwa kasus semacam ini kian marak terjadi. Menurut dia, kejahatan seksual telah melonjak selama pandemi karena lebih banyak anak dan remaja yang berselancar di internet.
"Tahukah Anda apa artinya ketika anak lebih banyak berselancar di dunia maya? Itu berarti mereka begitu dekat dengan para predator online," kata dia.
Kasus pelecehan seksual anak secara online juga terjadi di berbagai negara. Di Filipina, misalnya, tercatat hampir 280 ribu kasus pelecehan seksual online terhadap anak-anak dari 1 Maret hingga 24 Mei tahun 2020, empat kali lebih banyak daripada sepanjang 2019.
Penyalahgunaan foto juga meningkat di Australia. Polisi mengatakan, pengunduhan foto secara tidak bertanggung jawab melonjak hingga 86 persen dalam beberapa minggu setelah karantina wilayah (lockdown).
Komandan Paula Hudson dari Kepolisian Federal Australia mengatakan, banyak predator seksual melihat pandemi sebagai kesempatan ideal untuk membidik anak-anak.
"Di seluruh web gelap, kami sebenarnya telah mengidentifikasi forum eksploitasi anak bertema Covid-19," kata Hudson.