REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebanyak 29 organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelucutan senjata mengirimkan surat terbuka ke Kongres AS menentang penjualan rudal, pesawat tempur, dan drone senilai 23 miliar dolar AS ke Uni Emirat Arab (UEA). Mereka meminta Kongres memblokir kesepakatan itu.
"Harapannya menghentikan penjualan senjata sama sekali, tapi dalam jangka pendek hal itu mustahil," kata aktivis di Project on Middle East Democracy, Seth Binder, Selasa (1/11).
"Ini mengirimkan sinyal penting ke pemerintahan Biden yang akan datang, ada berbagai organisasi yang menentang penjualan senjata-senjata tersebut," tambah Binder.
Dalam kesepakatan ini AS menjual drone produksi General Atomics, pesawat tempur F-35s produksi Lockheed Martin dan rudal produksi Raytheon. Tiga orang Senator AS mengajukan rancangan undang-undang yang menangguhkan penjualan tersebut.
Rancangan undang-undang ini kemungkinan akan memicu perselisihan baru dengan Presiden AS Donald Trump yang meninggalkan Gedung Putih dalam beberapa pekan. Undang-undang kesepakatan jual-beli senjata AS memungkinkan senator mendorong pemungutan suara untuk membatalkan kesepakatan.
Namun rancangan undang-undang yang membatalkan kesepakatan harus disahkan Senat yang dikuasai Partai Republik yang jarang berbeda pendapat dengan Trump. Rancangan undang-undang ini juga harus diloloskan House of Representative yang dikuasai Partai Demokrat.
Surat organisasi HAM dan pelucutan senjata dikirimkan ke anggota parlemen dan Departemen Luar Negeri AS. "Rencana penjualan senjata ke UEA, pihak yang terlibat dalam konflik di Yaman dan Libya, akan terus melukai warga sipil dan memperburuk krisis-krisis kemanusiaan," kata surat tersebut.
Surat itu ditandatangani organisasi kemanusiaan yang bermarkas di Timur Tengah. Seperti Cairo Institute for Human Rights Studies (CIHRS) dan Mwatana for Human Rights. Kedutaan UEA di AS mengeluarkan pernyataannya.
"Selaras dengan nilai-nilai dan kepentingan AS, militer UEA yang berkekuatan tinggi menjadi pencegah agresi yang kuat dan tanggapan yang efektif pada kekerasan ekstremis," kata Kedutaan Besar UEA.