REPUBLIKA.CO.ID, Aksi terorisme di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) bukanlah barang baru. Meski aparat berhasil menembak mati Santoso, sosok di balik Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pada 18 Juli 2016, teror tak juga berhenti. Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Al Khairaat Habib Ali bin Muhammad Aljufri mengungkapkan, keheranannya mengapa kasus terorisme kerap terjadi di Sulawesi Tengah. Kepada wartawan Republika, Imas Damayanti, Habib Ali pun mengungkap ada pihak-pihak yang menginginkan Sulteng kacau. Berikut kutipannya.
Mengapa kasus terorisme dan ekstremisme kerap terjadi di Sulteng?
Begini ya, saya melihat kok setiap tahun itu, tepatnya di akhir tahun, selalu ada kejadian seperti itu (kejadian teror). Kenapa kok ada seperti itu? Jujur saja, saya sendiri sampai tak habis pikir. Polanya sama, rutin di akhir tahun atau di acara-acara keagamaan.
Kami (Alkhairaat) tentu saja mengharapkan hal ini tidak pernah terjadi, kita ingin hidup damai berdampingan. Namun, faktanya berbicara beda, aksi teror demi teror terjadi lagi. Benar-benar membuat kita semua semakin bertanya-tanya, ada apa?
Terdapat kelompok teroris di Sulteng, Anda sependapat dengan hal ini?
Meskipun kami ingin hidup damai berdampingan antarumat masyarakat, faktanya kok Sulteng ini seperti jadi tempat teroris bisa berkumpul? Saya buat pertanyaan ini dan kemudian menanyakan ke pelaku pembunuhan di gereja itu bahwa benarkah ini mereka lakukan? Jawabannya benar.
Kemudian saya bertanya lagi, apa kaitan permusuhan berlandaskan agama ini antara pelaku dengan korban? Kalau hanya agama yang dijadikan alasannya, jelas ini jelas melanggar HAM (hak asasi manusia). Perbedaan dalam agama kita itu jika dalam Islam sudah jelas di dalam Alquran disebutkan lakum dinukum waliyadin. Selanjutnya, ini jadi pertanyaan ke penegak hukum.
Apa analisis Anda mengenai kasus teror yang kerap terjadi di Sulteng ini?
Saya sering berpikir, karena seringnya kasus terorisme dan ekstremisme di Sulteng ini terjadi, tak lepas dari peran pihak-pihak tertentu yang diuntungkan. Jika dilihat dari rekam jejak, banyak sekali pejabat maupun aparat tertinggi di negeri ini yang berasal dari Sulteng. Bahkan, dulu ada kapolri yang pernah menjadi kapolda di Sulteng.
Apakah ini memang pola yang dipelihara atau bagaimana. Sejujurnya, saya melihat pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus kita sikapi bersama. Apakah ini dipelihara? Atau bagaimana? Karena saya pernah singgah beberapa malam di rumah orang non-Muslim yang mana Muslim di sananya sedikit sekali, saya aman-aman saja. Tidak ada rasa atau perlakuan seperti apa, baik dari saya maupun mereka.
Karena di semua agama, saya yakin tidak ada imbauan untuk saling membunuh, apalagi memutilasi. Apalagi dalam Islam, dalam kondisi perang saja, dilarang bagi umat Islam memutilasi jasad musuh. Itu dalam perang, apalagi dalam kondisi biasa hidup dalam umat beragama.
Bagaimana meningkatkan toleransi beragama usai peristiwa ini terjadi?
Pertama, kami ingin mengutuk aksi pelaku yang keji. Ini tidak dibenarkan, dan jangan sampai terjadi lagi di kemudian hari. Kedua, kami mengimbau umat Islam ataupun umat beragama lainnya untuk jangan sampai tersulut api, jangan sampai terprovokasi. Kita perlu ambil segala tindakan dengan kepala dan hati yang dingin. Percayalah bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memang ingin membuat Sulteng ini kacau.
Mengapa demikian?
Jika dilihat dari potensinya, Sulteng ini memiliki sumber daya alam dan manusia yang sangat baik. Bayangkan, ada pabrik pengolahan emas, lalu ada pengolahan gas, yang bahkan tak jauh dari Poso. Mungkin saja ada pihak-pihak yang tidak ingin Sulteng ini maju, lalu mereka ambil siasat demi keuntungannya pribadi.
Segala hal (analisa) bisa saja dimunculkan mengingat maraknya konflik di Sulteng. Bersama-sama kita berdoa, semoga Allah senantiasa melindungi segenap umat dan masyarakat Indonesia dari aksi-aksi keji orang-orang tertentu.