REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebutuhan garam nasional tahun 2020 sebesar 4,6 juta ton, dan diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri pengguna seperti industri kimia, aneka pangan dan lainnya. Sementara produksi garam dalam negeri masih fluktuatif sangat bergantung pada musim.
Deputi Bidang Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, Safri Burhanuddin, mengatakan hampir kebanyakan garam yang dihasilkan oleh rakyat memiliki kadar NaCl dibawah 92 persen, sedangkan yang dibutuhkan oleh industri garam dengan kualitas NaCl diatas 97 persen.
“Untuk memenuhi kebutuhan garam industri kita masih butuh waktu, namun untuk konsumsi kita sudah selesai lakukan. Kita lihat lahan garam saat ini 22.831 Ha, dan dtargetkan menjadi 30 ribu hektar lewat program ekstensifikasi. Itupun baru akan menghasilkan 3 juta ton, jika dihitung rata-rata produktifitas 100 ton per hektar (cuaca normal),” kata Safri, Jumat (4/12).
Namun demikian, kata Safri, peningkatkan kuantitas produksi garam industri nasional akan terus dilakukan melalui pembuatan lahan baru dan program, strategis laiinya. Menko Marves akan fokus mengawal ekstentifikasi lahan garam di NTT dan NTB, seperti d wilayah Teluk Kupang, Malaka, Nagekeo, dan Sumbawa.
Pemerintah juga akan membangun pabrik pengolah garam dan Pembangunan Pabrik Garam Tanpa Lahan (PLTU). PLTU tersebut diharapkan akan mampu memproduksi garam industri sekitar 100.000 ton per tahun, dimana pembangunan pilot plant akan dimulai pada tahun 2021.
Keterlibatan pelaku usaha swasta sangat dibutuhkan untuk membangun industri pergaraman nasional. Masuknya swasta akan membawa masuknya teknologi pembuatan garam. Akan tetapi para investor yang telah menanamkan modalnya untuk memproduksi komoditi ini juga menhadapi banyak kendala. Seperti perizinan lahan dan infrstruktur pendukung.
Ketua Asosiasi Industri Pengguia Garam Indonesia (AIPGI), Toni Tanduk, mengatakan bahwa investasi garam membutuhkan dukungan dari pemerintah, diantaranya mengenai kemudahan perizinan dan infrastruktur seperti jalan atau pelabuhan. Di negera lain seperti India, infrastruktur jalan dibangun hingga ke ladang garam. Sementara di indonesia jalan di ladang garam hanya bisa dilewati sepeda.
“Saya ikut mendampingi pengembangan indsutri garam di Malaka NTT oleh PT IDK. Soal perizinan lahan ini memang masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan pemerintah. Begitu juga dengan jalan dan pelabuhan. Di Teluk Malaka itu berdekatan dengan lautanm hindia, jadi membutuhkan kapal pengangkut garam yang sangat besar,”jelasnya.
Sementara, pengamat ekonomi Faisal Basri meyakini investor dalam negeri mampu menanamkan investasinya di sektor penggaraman, tanpa perlu dari luar. Garam dinilai sangat strategis meski belum mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Garam begitu penting bagi kehidupan, tapi masih dilihat kecil oleh pemerintah. Wajar jika tidak ada peoyek strategis nasional yang mengarah kesana. Yang dibangun jalan tol, bukan jaaln ke sentra-sentra pabrik garam,”ungkapnya.