REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha, Wartawan Senior Mantan Pimred Republika.
Muhammad Jusuf Kalla. Langkahnya lebar, artikulasinya bertenaga. Tak heran jika ia bisa menjadi wakil presiden hingga dua kali dari dua presiden yang berbeda. Jika ia orang Jawa, kemungkinan ia sudah menjadi presiden.
Sejak mahasiswa pada tahun 1960-an ia sudah menjadi aktivis di HMI dan setelah itu ia malang melintang dalam dunia politik, secara terus menerus hingga saat ini. Latar belakangnya sebagai pengusaha membuat langkah politiknya demikian simpel. Itu yang membuat dirinya demikian ‘mudah’ menyelesaikan konflik Aceh, Poso, dan Ambon.
Kini JK malah lebih sibuk sebagai ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI) dan ketua umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Taglinenya saat maju menjadi capres pada 2009 “Lebih Cepat, Lebih Baek” merupakan gambaran pas tentang dirinya: cekatan, lincah, efektif.
Pada 20 November 2020 lalu, ia diundang menjadi pembicara dalam webinar yang diadakan DPP PKS. Pernyataannya langsung menjadi pembicaraan. Menurutnya, fenomena Habib Rizieq Syihab (HRS) terjadi karena ada kekosongan kepemimpinan. Yaitu kekosongan kepemimpinan yang mampu menyerap aspirasi masyarakat secara luas. Ini lanjutannya:
“Kenapa ratusan ribu orang itu, kenapa tidak percayai DPR untuk berbicara? Kenapa tidak dipercaya partai-partai khususnya partai Islam? Untuk mewakili masyarakat itu.”
Semua pertanyaan itu penting untuk dievaluasi dan dipelajari, khususnya oleh partai Islam, termasuk PKS.
Selain itu, sistem demokrasi di Indonesia juga perlu diperbaiki. Itulah poin-poin yang disampaikan JK, panggilan akrabnya. Pernyataannya itu beredar di media massa dan juga di kanal youtube. Wawancara lebih dalam soal ini juga dilakukan majalah Tempo.
Pernyataan JK ini ditanggapi beragam, termasuk direaksi secara politis. Jangan tanya bagaimana keriuhan media sosial – oh ya di era click bait ini keriuhan juga terjadi di media daring – yang giat mencari sentimen dengan bahasa-bahasa menusuk rasa.
Salah satu di antara reaksi itu adalah seolah arah pernyataan JK tersebut tertuju kepada pemimpin nasional. Jika ditarik-tarik tentu bisa saja terarah ke sana. Namun jika kita dalami, konstatasi JK tersebut lebih tertuju pada internal umat Islam Indonesia.
Jika pun lebih luas maka hal itu tertuju pada sistem politik Indonesia yang tak mampu menggagregasi berbagai kepentingan masyarakat yang terfragmentasi dalam beragam dimensi tersebut – tentang hal ini bisa dilacak dari sudut sejarah sosial dan ekonomi yang mengerucut pada hukum dan politik.
Tapi dalam wawancara dengan Tempo, JK lebih jelas berbicara bahwa yang ia maksud memang kekosongan kepemimpinan di internal umat Islam, bahkan ia mention khusus tentang NU dan Muhammadiyah yang lebih sibuk dakwah dan upaya sosial. JK juga menyatakan partai-partai Islam bersikap pragmatis saja. Kekosongan inilah yang kemudian diisi HRS.
Pernyataan JK tersebut masih seirama dengan serial tulisan saya – ada delapan seri dengan tagline Revolusi Putih pada periode 2016-2017 – sehingga kali ini saya menulis lagi. Pernyataan JK tersebut secara umum tergambarkan dalam serial tulisan 3-4 tahun lalu tersebut.
Namun lebih khusus lagi bisa dibaca pada seri ke-7. Tulisan kali ini tentu diharapkan bisa lebih menukik pada frasa “kekosongan kepemimpinan” tersebut.