REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, mengatakan, presiden terpilih Joe Biden menjadi penentu nasib hubungan Ankara-Washington berjalan normal, Kamis (17/12). Menurut Cavusoglu, keputusan sosok dari Demokrat yang akan dilantik 20 Januari itu dalam memenuhi harapan Pemerintah Turki tentang kebijakan Suriah menjadi penting.
Dalam siaran berita 24 TV, Cavusoglu pun menegaskan, sikap AS terhadap ekstradisi ulama terkemuka, Fethullah Gulen, juga akan menentukan hubungan kedua negara. "Jika Amerika Serikat berpikir secara strategis, mereka sangat membutuhkan Turki. Mereka mengatakan ini, tetapi mereka harus melakukan apa yang diminta oleh kami," katanya.
Selain itu, Cavusoglu pun menyinggung penerapan Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) atau sanksi dari AS ke Turki. Sanksi terbaru yang diberikan kepada Ankara itu dinilai merupakan serangan terhadap hak kedaulatan Turki dan tidak akan berdampak.
"Kesepakatan S-400 dibuat sebelum undang-undang CAATSA, oleh karena itu, undang-undang tersebut tidak mematuhi Turki. Kami tidak akan mundur," ujar Cavusoglu, dikutip dari Hurriyet.
Cavusoglu menyatakan, Turki tidak akan membatalkan pembelian sistem pertahanan rudal S-400 Rusia dan akan mengambil langkah timbal balik setelah mengevaluasi sanksi AS yang dikenakan atas akuisisi tersebut. "Jika kita mundur, itu akan terjadi sekarang," katanya mengacu pada keputusan untuk memperoleh S-400.
"Sekarang kami sedang menilai dampak dari sanksi ini dengan sangat rinci ... dan akan mengambil langkah yang sesuai. Tidak penting apakah sanksi itu lunak atau keras. Sanksi itu salah," kata menteri itu.
Cavusoglu menilai, sanksi AS tidak sejalan dengan hukum dan diplomasi internasional. Keputusan tersebut dinilai salah secara politik dan hukum. AS masih dapat menyelesaikan perselisihan dengan akal sehat jika bekerja sama dengan Turki dan NATO.
AS mengumumkan sanksi awal pekan ini atas pengadaan Turki atas sistem S-400 canggih Rusia dengan undang-undang AS yang dikenal sebagai CAATSA, yang bertujuan untuk menekan pengaruh Rusia. Sanksi tersebut menargetkan Kepresidenan Industri Pertahanan Turki, kepala kepresidenan, dan tiga pejabat senior lainnya.