Jumat 18 Dec 2020 18:22 WIB

Perlukah Penyintas Covid-19 Ikut Program Vaksin?

Secara teori penyintas Covid-19 sudah memiliki antibodi di tubuhnya.

Pengendara motor melitas di depan mural tentang Covid-19 di Jakarta. Pemerintah sedang mengejar upaya pemberian vaksin Covid-19 ke seluruh masyarakat. Mereka yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 juga akan masuk program vaksin Covid-19.
Foto: Prayogi/Republika
Pengendara motor melitas di depan mural tentang Covid-19 di Jakarta. Pemerintah sedang mengejar upaya pemberian vaksin Covid-19 ke seluruh masyarakat. Mereka yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 juga akan masuk program vaksin Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Rizky Suryarandika, Antara

Para penyintas Covid-19 atau orang-orang yang sudah sembuh dari virus corona jenis baru tetap tidak boleh lengah menjaga diri di saat pandemi belum berakhir. Potensi terpapar kembali Covid-19 atau reinfeksi sangat mungkin. Karena itu para penyintas tetap harus mendapatkan vaksin Covid-19.

Baca Juga

Koordinator Tim Pakar sekaligus juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito  harus memroteksi diri dengan vaksin. "Prinsip kehati-hatian termasuk yang sudah terkena jangan merasa sudah punya antibodi maka sudah bebas dari Covid-19, tidak bisa seperti itu," kata dia dalam diskusi virtual dengan tema "Napas Panjang Penanganan Covid-19", Jumat (18/12).

Setiap individu penyintas maupun tidak tetap harus mengutamakan prinsip kehati-hatian dengan penerapan protokol kesehatan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jara). Juga mengikuti program vaksin bila telah disetujui BPOM dan MUI.

Secara teori orang-orang yang telah sembuh dari suatu penyakit maka akan timbul antibodi atau imunitas yang kuat dari sebelumnya. Namun, kata dia, yang perlu digarisbawahi ialah imunitas dan tingkat penyakit yang diderita seseorang juga berbeda-beda. Artinya, ada imunitas yang terbentuk untuk waktu lama maupun pendek.

"Khusus untuk Covid-19 kita belum tahu karena baru," ujar dia.

Wiku mengatakan vaksin juga belum tentu 100 persen bisa melindungi atau menjamin seluruh masyarakat. "Dengan adanya vaksin tidak serta merta perlindungan lainnya kita tinggalkan, karena bisa saja nanti bobol," kata dia.

Saat ini, ujar Wiku, perhatian masyarakat sedang tertuju pada vaksin Sinovac asal China yang baru tiba. Sebagian masyarakat beranggapan Covid-19 akan selesai dengan adanya vaksin.

Padahal, pengalaman itu sama sekali belum terjadi sebab masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, masyarakat harus melihat vaksin merupakan salah satu tameng atau perlindungan untuk tubuh. "Jadi kita harus punya perlindungan berlapis dan vaksin merupakan salah satu perlindungan," katanya.

Selain penerapan 3M dan penggunaan vaksin bila telah keluar izin dari BPOM dan MUI, peningkatan imun tubuh dengan olahraga teratur serta istirahat yang cukup juga harus tetap dilakukan. "Olahraga jangan ditinggalkan meskipun sudah ada vaksin," ujar prof Wiku.

Pemerintah saat ini masih mempelajari secara mendalam apakah vaksin yang telah tiba mampu atau efektif memproteksi diri 100 persen dari virus corona atau Covid-19. Terakhir, ia berharap selama 10 bulan masyarakat berjuang melawan pandemi Covid-19 yang disertai penerapan kebiasaan protokol kesehatan terus dilakukan secara kontinu dan kolektif.

"Itu adalah proses belajar yang lama dan harusnya masyarakat sudah pintar dan terbiasa," ujar dia.

Reinfeksi Covid-19

Bicara soal reinfeksi, dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Andika Chandra Putra, mengatakan ada beberapa kemungkinan mengapa seseorang bisa kembali positif Covid-19 setelah sempat dinyatakan sembuh. Pertama memang ada risiko reinfeksi, sudah sembuh dua kali negatif tapi kemudian tertular lagi. Kedua kita sebut false negative ini misalnya karena jumlah spesimennya atau jumlah virusnya tidak begitu banyak sehingga tidak terdeteksi PCR sehingga hasilnya negatif," kata Ketua Bidang Ilmiah dan Penelitian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu.

Jumlah virus atau viral load dari bahan yang diperiksa akan mempengaruhi hasilnya. Semakin sedikit virusnya dalam sebuah spesimen maka akan mempengaruhi hasil polymerase chain reaction (PCR).

Kemungkinan ketiga adalah reaktivasi yaitu seperti virus "tidur" di dalam tubuh seseorang karena mungkin daya tahan tubuhnya sudah ada perbaikan tapi kemudian aktif kembali. Hasil tes PCR, kata dia juga dipengaruhi dengan spesimen pasien yang diperiksa. Spesimen yang diambil untuk PCR terkadang mempengaruhi tingkat akurasi.

Andika mengatakan, berdasarkan penelitian yang membandingkan spesimen dari pasien yang diduga terpapar Covid-19 ada beberapa jenis pemeriksaan yang memiliki akurasi lebih tinggi. Pemeriksaan yang dibandingkan adalah bronkus, pharyngeal test atau tes swab faring, naso swab dan juga swab dari dahak.

"Memang kalau yang bilasan bronkus atau bilasan paru angka kepositifannya di atas 93 persen, tapi itu invasif," kata dia.

Kasus reinfeksi memang tidak banyak. Berdasarkan temuan, antibodi virus corona yang menyebabkan Covid-19 dapat bertahan lebih dari enam bulan sejak orang pertama kali mengalami infeksi. Menurut peneliti, penyintas Covid-19 tampak memiliki antibodi yang kuat dan bereaksi cepat ketika mereka kembali terinfeksi.

Peneliti menganggap, temuan ini mungkin menjelaskan mengapa infeksi ulang sangat jarang. Hasil studi yang belum ditinjau sejawat dan dimuat di situs penelitian akses terbuka BioRxiv itu sekaligus memberi pencerahan setelah berbulan-bulan spekulasi yang tidak pasti soal respons kekebalan.

"Ini berita yang sangat bagus. Harapannya adalah orang-orang mampu menghasilkan respons antibodi yang cepat guna melawan infeksi dalam banyak kasus," kata Michel Nussenzweig selaku anggota senior tim studi tersebut sekaligus kepala imunologi molekuler di Rockefeller University Manhattan, dilansir Fox News.

Para ilmuwan menyebutnya memori sistem kekebalan yang didukung oleh milisi anti-virus sel T dan B. Kedua jenis sel kekebalan tersebut bekerja sama dalam upaya menghasilkan antibodi dalam darah kemudian menekan dan membunuh SARS-CoV-2.

Lebih khusus lagi, sel-T memimpin serangan terhadap virus secara langsung dengan memusnahkan sel yang terinfeksi. Adapun sel-B berperan menganalisis virus untuk menghasilkan antibodi. Akhirnya, makrofag sebagai sel kekebalan penting akan datang untuk membersihkan virus itu.

Setelah berhasil mengatasi serangan virus penyebab Covid-19, sistem kekebalan menyimpan memori sel T dan B yang telah mengembangkan pertahanan terhadap SARS-CoV-2. Jika suatu saat orang diusik virus yang sama, "pasukan antibodi" akan dilepaskan untuk kembali melawan virus.

Studi Rockefeller ini melibatkan 87 pasien Covid-19 yang diuji antibodi setelah satu bulan dan sekali lagi sekitar enam bulan di mana saat itu pertahanan mereka turun menjadi hanya sekitar 20 persen dibandingkan dengan kadar puncaknya. Namun, para peneliti tak begitu peduli dengan keseluruhan konsentrasi antibodi yang tersisa karena secara khusus telah terbukti bahwa kekebalan tubuh telah diperkuat untuk memerangi penyakit untuk kedua kalinya.

Pada saat yang sama, Konsorsium Imunologi Coronavirus Inggris belum lama ini mengunggah studi imunitas. Penelitiannya terhadap 100 orang yang sebelumnya dites positif Covid-19 menunjukkan respons sel-T yang kuat enam bulan kemudian.

"Respons sel-T muncul pada semua individu pada enam bulan setelah infeksi SARS-CoV-2. Memori pertahanan diri yang kuat terhadap virus bertahan setidaknya selama enam bulan," tulis hasil studi tersebut.

Semua divaksin

Hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan seluruh masyarakat Indonesia bisa mengikuti vaksinasi Covid-19. Penyelenggaraan vaksinasi tak berkaitan dengan keanggotaan BPJS sehingga seluruh masyarakat bisa mendapatkan vaksin.

“Dan juga tidak ada kaitannya dengan anggota BPJS, kan ada isu ini yang divaksin yang hanya memiliki kartu BPJS, tidak. Semuanya seluruh warga bisa mengikuti vaksinasi,” kata Jokowi saat memberikan bantuan modal kerja kepada sejumlah pelaku usaha kecil di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/12).

Jokowi mengatakan, pelaksanaan vaksinasi nantinya akan diatur oleh kelurahan atau puskesmas di masing-masing daerah. Saat ini, penyelenggaraan vaksinasi masih menunggu tahapan dan izin dari BPOM.

Vaksin Covid-19 ini akan diberikan secara gratis kepada seluruh masyarakat, tanpa terkecuali. Jokowi menyebut, untuk mencapai kekebalan komunal atau herd immunity, dibutuhkan minimal 67 persen hingga 70 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 182 juta orang untuk divaksin.

“182 juta (orang) bayangkan. Banyak sekali. Memerlukan waktu sehingga sekali lagi begitu besok misalnya sudah divaksin itu belum keadaan bisa langsung normal, itu tidak. Karena baru berapa yang divaksin, butuh waktu untuk nyuntik satu-satu,” jelasnya.

Ia pun meminta masyarakat agar tak takut dan khawatir terhadap program vaksinasi Covid-19 ini. Pemerintah baik Kementerian Agama dan juga MUI terus mengawasi seluruh tahapan dan prosesnya, termasuk kehalalan vaksin.

“Jadi jangan sampai ada kekhawatiran mengenai halal dan tidak halalnya vaksin ini. Ini dalam keadaan darurat kita karena pandemi Covid-19 ini,” kata dia.

Presiden juga akan memastikan keamanan vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia dengan menjadi orang pertama yang divaksin. “Saya harapkan semuanya mau, tidak ada yang menolak,” ucapnya.

photo
Vaksin Covid-19 - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement