REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah pusat akan menerapkan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) secara intensif di Jawa dan Bali yang mulai pada 11-25 Januari 2021. Hal ini berdampak pada kegiatan operasional bisnis seperti pembatasan jam operasional pusat perbelanjaan atau mal.
Penyewa dan restoran di mal dipastikan terkena imbasnya secara ekonomi. “Pastinya penerapan ini akan berpengaruh sangat besar karena jam operasional dibatasi dan kapasitas juga dikurangi. Nanti akan banyak restoran yang memilih tutup karena rugi,” kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani saat dikonfirmasi, Sabtu (9/1).
Dampak yang paling dirasakan kata dia adalah restoran yang ada di mal karena mereka harus membayar sewa. Berbeda dengan restoran yang tidak membayar sewa atau memiliki tempat sendiri. Adanya pemesanan via daring juga belum cukup untuk menutup kerugian nanti.
Situasi masyarakat pun berbeda dari awal masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sekarang mereka lebih memilih untuk masak di rumah. Selain karena faktor harga yang lebih mahal, pengetatan aktivitas masyarakat sangat berpengaruh pada tamu restoran.
“Sebelumnya orang kalau makan di tempat karena mereka memang beraktivitas di luar, masih ke kantor, jadi masih ada tamu restoran. Nah kalau mereka enggak ke kantor mereka lebih memilih masak sendiri,” ujar dia. Oleh karena itu, penjualan bahan baku makanan dan bumbu masak naik karena masyarakat lebih memilih masak di rumah.
Terkait data kerugian akibat diterapkan PSBB, Hariyadi mengaku belum memiliki data terakhir. Yang jelas, pada Mei lalu, pihaknya sempat merilis ada 8.000 restoran yang tutup di mal.
Seiring berjalannya waktu, beberapa restoran ada yang menerapkan sistem buka-tutup dan pada akhirnya mereka memilih tutup. “Kebanyakan orang-orang kalau sudah bubar tidak mau melapor,” ujar dia.
Dia menyebut situasi saat ini sangat tidak menentu sehingga berpengaruh terhadap program dana pemulihan ekonomi nasional (PEN). Kenyataannya di lapangan, proses restrukturisasi belum efektif.
Praktisi Kreatif, Yoris Sebastian, mengatakan untuk menanggapi situasi ini para pelaku usaha terutama bidang kuliner harus bisa beradaptasi cepat. Cepat dalam arti tidak instan atau gegabah. Beradaptasi yang dimaksud adalah melihat situasi yang sedang berlangsung saat ini.
“Tahun 2021 pasti tahun vaksinasi global atau nasional, jadi para pelaku usaha harus bersiap. Sayang, kalau ada pengusaha kuliner yang berharap di 2021 keadaannya akan lebih longgar karena vaksinasi memerlukan waktu yang tidak cepat. Lihat efek sampingnya dari ini,” kata Yoris.
Sebelum tahap beradaptasi, diperlukan waktu untuk mengenal jenis usaha apa yang dilakukan. Setelah itu, baru dapat melihat atau memprediksi perubahan perilaku konsumen.
“Dalam usaha kuliner kan beragam, ada yang menjual makan minum dan pengalaman dan ada yang menjual makan minum saja. Lihat jenis usaha apa yang mau dilakukan baru melihat perubahan perilaku konsumen,” jelas dia.
Dalam beradaptasi, para pengusaha kuliner kata dia juga perlu inovasi. Mereka harus kreatif dengan melihat berbagai peluang yang ada. “Perlu inovasi, mereka tidak bisa hanya menyalahkan keadaan atau fokus kepada apa yang mereka tidak bisa lakukan, tapi fokus kepada apa yang mereka dapat lakukan,” kata dia.